MOBILITAS PENDUDUK DAN REMITTANCES

Abstrak

Dalam teori ekonomi neoklasik, mobilitas penduduk dipandang sebagai mobilitas geografis tenaga kerja, yang merupakan respon terhadap ketidakseimbangan distribusi keruangan lahan, tenaga kerja, kapital dan sumberdaya alam. Ketidakseimbangan lokasi geografis faktor produksi tersebut pada gilirannya mempengaruhi arah dan volume migrasi. Kegiatan mobilitas pedesaan-perkotaan memiliki dampak positif baik pada rumah tangga pedesaan pendapatan dan pembangunan ekonomi pedesaan Total pendapatan rumah tangga secara signifikan dipengaruhi oleh pengiriman uang (remitan) sementara pendapatan rumah tangga berasal dari kegiatan migrasi adalah signifikan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan jumlah anggota rumah tangga yang bermigrasi.
Mobilitas bagi sebagian orang merupakan salah satu strategi dari rumah tangga pedesaan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, dan untuk membuat dan meningkatkan pendapatan mereka. Alasan mengapa mobilitas kecenderungan bergerak maju ke daerah perkotaan karena kondisi ekonomi daerah pedesaan tidak menjawab permintaan hidup masyarakat. Hal ini juga karena daerah perkotaan menawarkan lebih menjanjikan dan berkembang sektor informal seperti merchandising tersebut. Itu mobilitas penduduk dari pedesaan ke daerah perkotaan akibat ketergantungan sebuah antara desa dan kota karena imigran mengirimkan pendapatan mereka untuk mereka keluarga di kampung halamannya itu. Remittance, menurut Curson, adalah transfer uang, barang, dan gagasan pembangunan dari daerah perkotaan ke daerah pedesaan, dan adalah salah satu instrumen dari perubahan sosial dan ekonomi dalam perjalanan hidup dari masyarakat. Sementara Menurut Connel (1980), di negara-negara sedang berkembang terdapat hubungan yang sangat erat antara migran dengan daerah asalnya, dan hal tersebutlah yang memunculkan fenomena remitan.
Mobilitas yang terjadi di negara-negara sedang berkembang dipandang memiliki efek yang sama. Namun, terdapat fenomena khusus dari mobilitas di negara-negara ini, yang diperkirakan lebih mempercepat pemerataan pembangunan. Fenomena tersebut berbentuk transfer pendapatan ke daerah asal (baik berupa uang ataupun barang), yang dalam teori mobilitas dikenal dengan istilah remitan (remittance).

Kata Kunci : Remitan, Mobilitas

Abstract

In neoclassical economic theory, population mobility viewed as the geographical mobility of labor, which is a response to the imbalance of spatial distribution of land, labor, capital and natural resources. This imbalance is the geographical location of production factors in turn influence the direction and volume of migration. Activities of rural-urban mobility has a positive impact on rural household income and rural economic development Total household income is significantly influenced by money transfer (remittance), while household income derived from migration activity is significantly influenced by education level and number of household members migrating.
Mobility for some people is one of the strategies of rural households to improve their welfare, and to create and increase their revenues. The reason why the mobility trend of moving to urban areas because rural economic conditions did not answer the demands of community life. This is also because urban areas offer a more promising and growing informal sector, such as merchandising. That mobility of population from rural to urban areas due to a dependency between the villages and towns because immigrants send their earnings to their families in that hometown. Remittances, according to Curson, is the transfer of money, goods, and ideas of urban development into rural areas, and is one of the instruments of social and economic change in the way of life of the community. Meanwhile, according to Connell (1980), in developing countries have a very close relationship between the migrants with their home regions, and That matter, which gave rise to the phenomenon of remittance.
Mobility that occurs in developing countries is considered to have the same effect. However, there is a special phenomenon of mobility in these countries, which is expected to accelerate distribution of development. This phenomenon is in the form of transfer income to the regions of origin (whether in money or goods), which in theory is known as the mobility of remittance (remittance).

 Keywords: remittance, Mobility

A.PENDAHULUAN

Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penaggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Transformasi struktural merupakan prasyarat dari peningkatan dan kesinambungan pertumbuhan dan penanggulangan kemiskinan, sekaligus pendukung bagi keberlanjutan pembangunan itu sendiri.
Pembangunan di Indonesia telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang ditandai terjadinya perubahan struktur perekonomian. Proses perubahan struktur perekonomian ditandai dengan: (1) merosotnya pangsa sektor primer (pertanian), (2) meningkatnya pangsa sektor sekunder (industri), dan (3) pangsa sektor tersier (jasa) kurang lebih konstan, namun kontribusinya akan meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak disertai dengan perubahan struktur tenagakerja yang berimbang (Swasono dan Sulistyaningsih, 1993). Artinya laju pergeseran ekonomi sektoral relatif cepat dibandingkan dengan laju pergeseran tenagakerja, sehingga Manning (1995) dalam Suhartini (2001) mengatakan bahwa titik balik untuk aktivitas ekonomi (economic turning-point) tercapai lebih dahulu dibanding dengan titik balik penggunaan tenagakerja (labor turning-point). Sehingga masalah yang sering diperdebatkan adalah: (1) apakah penurunan panga PDB sebanding dengan penurunan pangsa serapan tenagakerja sektoral, dan (2) industri mana yang berkembang lebih cepat, agroindustri atau industri manukfaktur. Jika transformasi kurang seimbang maka dikuatirkan akan terjadi proses pemiskinan dan eksploitasi sumberdaya manusia pada sektor primer.
Namun dalam dua dasa warsa terakhir ini telah terjadi perubahan sosial dan ekonomi yang cukup berarti di indonesia, khususnya di pedesaan. Salah satu perubahan itu tercermin dari meningkatnya mobilitas penduduk, terutama mobilitas dari pedesaan ke perkotaan. Bersamaan dengan meningkatnya pendapatan dari minyak, pesatnya industrialisasi dan pengembangan pertanian serta perbaikan prasarana transportasi dan komunikasi yang dimulai pada awal tahun 1970-an telah mempermudah proses perubahan-perubahan tersebut. Usaha-usaha pembangunan itu telah menciptakan kesempatan kerja, baik di sektor industri maupun pertanian, karena dalam sepuluh tahun terakhir ini kedua sektor itu pertumbuhannya relatif rendah bila dibandingkan dengan dua puluh tahun yang lalu. Karena pertumbuhan penduduk di pedesaan lebih cepat dari pada pertumbuhan kesempatan kerja, maka bagi mereka yang sebagian besar baru masuk angkatan kerja menemui kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam situasi seperti ini kebanyakan penduduk pergi keluar desa terutama ke kota untuk mencari pekerjaan tetap atau sementara (Effendi, 1992:1). Daerah perkotaan sudah lama dipandang sebagai pusat kemajuan dan pembangunan, pusat pemasaran berbagai barang dan ide, tempat berkembangnya suatu bentuk masyarakat yang didasarkan pada perjanjian timbal balik, cermin untuk dijadikan teladan, tempat bertemunya aneka ragam paham dan aliran serta pusat peradaban dan kebudayaan. Hal inilah yang menjadikan daya tarik daerah perkotaan sehingga membuat penduduk daerah pedesaan berduyun-duyun datang ke kota yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Kota dianggap sebagai daerah yang penuh kemajuan bertentangan dengan desa yang dianggap terbelakang dan belum maju (Departemen P & K, 1992).
Kota besar seperti Jakarta bagi sebagian penduduk merupakan magnet raksasa yang mampu menarik ribuan penduduk pedesaan dan perkotaan lain berbondong-bondong mengadu nasib ke kota beton itu. Tidak hanya Jakarta yang menjadi tumpuan harapan para migran, daerah perkotaan lain yang memiliki industri tidak lepas dari serbuan para pendatang. Hal ini disebabkan karena sektor industri mempunyai daya tarik yang cukup besar bagi penduduk pedesaan karena sektor ini mampu menawarkan upah yang lebih besar daripada sektor pertanian (Wiyono, 1994:4).
Ada beberapa alasan mengapa penduduk pedesaan atau dari daerah lain pergi ke kota Jakarta atau kota besar lainnya seperti Surabaya dan Makassar. Alasannya antara lain adalah untuk melanjutkan pendidikan, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi, mengikuti orang tua, suami atau istrinya dan sebagainya. Secha Alatas, Suharso dan Munir (dalam Wiyono, 1994) mengatakan bahwa faktor ekonomi merupakan motif utama masyarakat mengadakan mobilitas atau migrasi. Motif tersebut selain sebagai pertimbangan ekonomi yang rasional juga disebabkan karena mobilitas ke
perkotaan yang telah mereka lakukan mempunyai dua harapan yaitu untuk memperoleh pekerjaan dan harapan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada yang diperoleh di pedesaan. Bagi sebagian masyarakat, mobilitas penduduk merupakan salah satu strategi bagi rumah tangga pedesaan untuk memperbaiki kesejahteraan serta mendapatkan dan menaikkan penghasilan mereka.
Semula penduduk desa adalah petani yang rata-rata memiliki lahan yang sempit. Jenis pertanian yang ada di desa adalah pertanian musiman karena hanya pada musim penghujan saja tanah bisa ditanami sementara pada musim kemarau kondisi tanahnya sangat kering. Tingginya minat penduduk yang terserap dalam ekonomi kota melalui sektor informal karena pada kenyataannya sektor informal dianggap mampu memberikan kontribusi pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian (Mantra, 1994). Selain itu karena keterbatasan ketrampilan dan rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh kaum migran sehingga mereka harus pandai mencari peluang agar tetap bisa survive.
Keuletan dan kegigihan para penduduk migran ternyata mampu membawa implikasi tersendiri bagi keluarga dan daerah asalnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat desa menggantungkan kehidupannya dari uang kiriman yang dikirim oleh anggota keluarga yang melakukan migran. Remitan menurut Curson, merupakan pengiriman uang, barang dan ide-ide pembangunan dari perkotaan ke pedesaan dan merupakan salah satu instrumen perubahan sosial ekonomi pada kehidupan suatu masyarakat. Anggota keluarga yang masih tinggal di desa merupakan satu kesatuan ekonomi karena itu remitan juga merupakan bagian dari kehidupan ekonomi rumah tangga pedesaan.
Di samping sebagai salah satu instrumen perubahan ekonomi, remitan juga mempunyai dampak yang luas dalam kehidupan sosial maupun budaya bagi
keluarga, masyarakat penerima dan daerah asalnya. Dampak yang cukup kompleks dari remitan itu karena pada dasarnya remitan berkaitan erat dengan pertimbangan waktu, harapan, kewajiban, dan tanggung jawab terhadap keluarga di daerah asalnya.
Bertolak dari latar belakang dan permasalahan di atas, maka kajian ini bertujuan untuk melihat perubahan struktural yang terjadi dalam perekonomian Indonesia, khususnya persepsi masyarakat terhadap remitan serta Bagaimana dampak remitan dalam kehidupan ekonomi,sosial dan budaya masyarakat desa

B.PENGERTIAN MOBILITAS PENDUDUK

Menurut Mantra (1999) mobilitas atau migrasi penduduk didefinisikan sebagai gerak penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam jangka waktu tertentu. Batas wilayah yang bisa digunakan adalah batas administrasi seperti : Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, atau Negara. Di samping batas wilayah batas waktu juga bervariasi : satu hari, lebih dari satu hari hingga kurang dari enam bulan atau enam bulan lebih.
Mobilitas penduduk dapat dibagi menjadi dua, yaitu (1) mobilitas penduduk permanen; (2) mobilitas penduduk nonpermanen. Perbedaan antara mobilitas permanen dan nonpermanen terletak pada ada atau tidaknya niat untuk bertempat tinggal menetap di daerah tujuan bukan lamanya setiap perpindahan. Apabila seseorang pindah ke daerah lain tetapi sejak semula bermaksud kembali ke desa asal, maka perpindahan tersebut dapat diaggap sebagai sirkulasi dan bukan migrasi.
Mobilitas penduduk selama ini lebih banyak melihat dari sisi ekonomi artinya faktor-faktor yang mendorong penduduk melakukan mobilitas sebagian besar karena motif ekonomi dan perbaikan kehidupan. Selain faktor ekonomi, kondisi desa asal juga menjadi pendorong untuk melakukan mobilitas. Tanah pertanian yang tidak subur, kekeringan dan lowongan kerja yang terbatas merupakan kondisi umum yang dihadapi oleh para migran di daerah asalnya

C.PERKEMBANGAN MIGRASI DI INDONESIA
1. Migrasi Internal
Migrasi internal merupakan mobilitas penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain dalam satu negara. Migrasi internal yang terjadi di Indonesia terdiri dari transmigrasi dan urbanisasi. Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya di Indonesia. Dalam analisis ini transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari pulau Jawa ke pulau-pulau lainnya di Indonesia. Sebaliknya urbanisasi yang merupakan perpindahan penduduk dari desa ke kota, umumnya terjadi pada penduduk pulau lain yang ingin memperoleh pekerjaan yang lebih baik di pulau Jawa.
Migrasi penduduk antar propinsi dan migrasi desa-kota memperlihatkan pola yang sangat sentris ke Pulau Jawa. Pola ini mencerminkan suatu disparitas wilayah, yang merupakan perwujudan kebijakan pembangunan dengan orientasi pada pertumbuhan ekonomi, khususnya industri dan jasa yang umumnya berlokasi di kota-kota besar dan di Pulau Jawa. Dengan kondisi seperti itu aliran penduduk ke kota-kota besar tidak akan dapat dihambat, meskipun dengan tindakan menahan pendatang untuk masuk ke daerah tersebut.
Perubahan pola mobilitas pada masa yang akan datang sangat tergantung pada perkembangan wilayah di luar Jawa. Jika wilayah-wilayah tersebut dapat mengembangkan kewenangan (otonomi) yang lebih luas bagi pembangunannya sendiri, maka diharapkan pada masa yang akan datang dapat menjadi penarik bagi mobilitas penduduk. Wilayah yang kaya akan sumberdaya alam, seperti Riau, Kalimantan Timur dan Papua diharapkan dapat menyeimbangkan mobilitas penduduk yang selama ini sangat terpusat pada kota-kota besar di Pulau Jawa.
Tapi kondisi ini tidak dapat terjadi secara otomatis, namun tergantung pada keberhasilan pengembangan wilayah dan kota (permukiman). Dengan demikian untuk pencapaian mobilitas penduduk yang lebih seimbang, agendanya akan sangat melekat pada program pengembangan wilayah dan perkotaan, khususnya di luar Jawa.
Transmigrasi merupakan salah satu unsur utama rencana pembangunan
Indonesia. Tujuan sosial transmigrasi adalah menolong rakyat Indonesia yang termiskin, yaitu petani tanpa lahan, penganggur di kota dan gelandangan. Transmigrasi bertujuan pula untuk membangun daerah luar Jawa, dengan memanfaatkan lahan-lahan luas yang belum diolah, mengubah tanah yang belum digarap menjadi tanah yang lebih produktif (Levang, 2003).
Program transmigrasi telah dimulai sejak Indonesia masih dibawah pemerintahan kolonial Belanda yaitu pada Fase Percobaan (1905-1931). Pada masa ini dalam setiap proyek, pemerintah Belanda membangun kelompok inti yang terdiri atas 500 kepala keluarga. Keluarga-keluarga tersebut mendapat jaminan selama satu tahun pertama. Setiap keluarga juga diberi subsidi yang mendorong mereka mendatangkan sanak keluarganya, sehingga memicu migrasi spontan (Levang, 2003).
Fase Transmigrasi Kedua (1931-1941). Tahun 1931 terjadi krisis pada sektor perkebunan besar yang mengakibatkan ribuan buruh Jawa diberhentikan dari pekerjaannya. Tahun 1905-1941, pemerintah Belanda secara keseluruhan memindahkan sekitar 200 ribu jiwa dari Jawa ke luar Jawa. Fase Pemecahan Masalah Pascaperang. Pada fase ini pemimpin Republik Indonesia tetap menerapkan cara dan pola yang sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Tetapi tahun 1947 istilah kolonisasi diganti menjadi transmigrasi dibawah Departemen Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 1948 urusan transmigrasi dipindahkan dibawah Depertemen Dalam Negeri. Kondisi ini terus berlangsung, dan tahun 1983 transmigrasi sepenuhnya dibawah Departemen Transmigrasi.
Pelita III dan IV merupakan masa target. Pada Pelita III (1979-1984), pemerintah memutuskan untuk membagi tugas kepada departemen-departemen terkait. Departemen pekerjaan umum bertugas mempersiapkan lokasi, departemen transmigrasi bertugas merekrut, memindahkan, dan membina para transmigran. Departemen pertanian mengurus masalah pertanian, departemen agama mengurus masalah tempat ibadah dan departemen kesehatan mengurus masalah puskesmas. Untuk memecahkan masalah koordinasi antar dinas dari departemen-departemen tersebut, maka pemerintah menciptakan instansi baru yang dinamakan Badan Koordinasi Transmigrasi (Bakortrans). Pada Pelita IV (1984-1989), pemerintah memindahkan 750 ribu kepala keluarga. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan, karena lama kelamaan penduduk asli menjadi minoritas di daerahnya sendiri (Levang, 2003).
Pada Pelita V kebijaksanaan penyelenggaraan transmigrasi ditangani oleh satu departemen yaitu departemen transmigrasi. Pola usaha pertanian tetap dilanjutkan, tetapi lebih ditingkatkan pada pola-pola perkebunan, perikanan, dan perindustrian. Pada Pelita VI, kebijaksanaan pembangunan transmigrasi diarahkan pada kawasan Indonesia Timur, mendukung pembangunan wilayah, penanggulangan kemiskinan dan menggalakkan Transmigrasi Swakarsa Mandiri. Tahun 2001 pada periode Kabinet Gotong Royong, penyelenggara transmigrasi dilaksanakan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Penyelenggaraannya diarahkan pada penanganan pengungsi sesuai kondisi politik saat itu. Pada era otonomi daerah pemerintah pusat berperan sebagai regulator, fasilitator dan mediator. Transmigrasi diposisikan pada program masyarakat bersama antara dua pemerintahan setempat, dan bukan pemerintahan pusat. Transmigrasi dilaksanakan melalui mekanisme kerjasama antar daerah otonom (Pusdatintrans, 2004).

2. Migrasi Internasional
Migrasi merupakan fenomena yang telah berlangsung mengikuti perjalanan peradaban manusia. Perpindahan penduduk dari negara asal ke luar batas negaranya makin sering terjadi di hampir seluruh belahan dunia, dengan jumlah yang terus meningkat dan alasan yang beragam. Alasan yang mendasari migrasi tersebut adalah alasan ekonomi, situasi politik di dalam negeri yang tidak menentu sampai terjadinya bencana alam. Migrasi tenaga kerja merupakan bagian dari proses migrasi internasional. Pada awalnya, migrasi tenaga kerja ini terjadi untuk memenuhi kekurangan tenaga kerja jangka pendek (short-terms labor shortages), seperti yang terjadi di Amerika Serikat tahun 1950-an, dengan mendatangkan pekerja-pekerja asal Meksiko. Pertumbuhan penduduk yang lambat dikombinasikan dengan kondisi perekonomian yang cukup baik di kawasan Eropa Utara dan Eropa Barat pada tahun 1960 sampai pertengahan tahun 1970 juga membuka peluang bagi masuknya pekerja asing (Weeks, 1974). Hingga akhir dekade 80-an, masalah-masalah migrasi tenaga kerja masih dipandang dalam perspektif ekonomi-politik. Perspektif ini memandang terjadinya migrasi internasional difokuskan pada ketidaksamaan tingkat upah yang terjadi secara global, hubungan ekonomi dengan negara penerimanya, termasuk juga masalah perpindahan modal, peran yang dimainkan oleh perusahaan multinasional, serta perubahan struktural dalam pasar kerja yang berkaitan dengan perubahan dalam pembagian kerja di tingkat internasional (international division of labour).
Perpindahan penduduk dari negara pengirim (sending country) ke negara penerima tenaga kerja migran (receiving country) akan membuat negara pengirim mendapat keuntungan remittance, sedangkan negara penerima akan mendapat keuntungan pasokan tenaga kerja murah (Mulyadi, 2003). Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka pengangguran yang cukup tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh jumlah angkatan kerja yang terus meningkat, sebaliknya kesempatan kerja semakin menurun, sehingga mendorong masyarakat untuk migrasi ke tempat bahkan ke negara lain untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Pengiriman tenaga kerja migran Indonesia (TKI) ke luar negeri secara resmi telah diprogramkan oleh pemerintah sejak 1975. Program ini merupakan salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan tersebut.
Umumnya migrasi internasional sangat berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan transisi demografi dalam suatu negara. Ketika suatu negara mengalami kemunduran ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan pertumbuhan populasinya masih tinggi, sangat tidak mungkin aktivitas perekonomian negara tersebut dapat menyerap kelebihan tenaga kerja. Untuk alasan ini, pengiriman tenaga kerja merupakan suatu pemecahan masalah ketenagakerjaan. Dalam teori ekonomi kependudukan dan ketenagakerjaan, hal ini sering dinyatakan sebagai “the first stage of labor migration transition” (Tjiptoherijanto, 1997).
Jumlah tenaga kerja migran internasional Indonesia hingga saat ini terus meningkat. Sekitar 70 persen dari jumlah tenaga kerja tersebut adalah perempuan yang rentan terhadap masalah. Migrasi internasional dapat membawa dampak positif bagi negara tujuan, negara asal dan para migran beserta keluarganya. Bagi negara tujuan, kehadiran migran ini dapat mengisi segmen-segmen lapangan kerja yang sudah ditinggalkan oleh penduduk setempat karena tingkat kemakmuran negara tersebut semakin meningkat.Lapangan kerja tersebut seperti sektor perkebunan dan bangunan atau konstruksi di Malaysia yang banyak digantikan oleh pekerja-pekerja dari Indonesia, atau menambah kebutuhan tenaga-tenaga terampil yang jumlahnya kurang, seperti kebutuhan tenaga kerja teknisi dan jasa di negara-negara Timur Tengah. Bagi negara asal merupakan sumber penerimaan devisa dari remittancess hasil kerja migran di luar negeri, sementara untuk para migran, kesempatan ini merupakan pengalaman internasional dan kesempatan meningkatkan keahlian dan mengenal disiplin kerja di lingkungan yang berbeda.
Bagi keluarga migran hal tersebut merupakan sumber penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya (Syahriani, 2007). Suatu hal yang diharapkan saat ini adalah menjadikan Indonesia sebagai negara pengirim tenaga kerja yang terampil dan ahli, serta berdaya saing. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap penguasaan bahasa, akses informasi teknologi dan budaya dimana mereka bekerja, terutama bagi tenaga kerja migran internasional yang bekerja pada lembaga-lembaga atau institusi seperti rumah sakit, restoran, pertokoan maupun lembaga lain yang menjadikan bahasa sebagai alat komunikasi adalah persoalan yang sangat penting. Kondisi ini berarti kualitas pendidikan menjadi pertimbangan penting dalam mengirim tenaga kerja ke luar negeri, dan ini menjadi fokus utama pemerintah untuk membekali pendidikan ketrampilan kepada tenaga kerja tersebut.
Menjadi tenaga kerja migran tidak hanya mempertimbangkan skill atau teknis keahlian saja, tetapi pemahaman dan wawasan terutama budaya masyarakat tempat dimana mereka akan bekerja juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan. Karena kualitas tenaga kerja dan tingkat pendidikan selalu memiliki keterkaitan. Tenaga kerja migran yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, umumnya bekerja pada lembaga jasa seperti rumah sakit, pertokoan, dan restoran yang memang memerlukan keahlian khusus dari pekerjanya. Pola rekrutmennya dilakukan melalui lembaga-lembaga pendidikan kejuruan yang memiliki jaringan kerja sama dengan penempatan tenaga kerja dengan luar negeri. Kondisi tenaga kerja migran ini umumnya lebih baik, dan sangat berbeda dengan tenaga kerja migran yang berangkat hanya berbekal pendidikan dan keahlian yang tidak memadai. Tenaga kerja migran yang mempunyai latar pendidikan rendah lebih banyak ditempatkan pada sektor informal seperti pembantu rumah tangga, sopir, pekerja perkebunan dan sebagainya.
Menindaklanjuti kondisi tersebut, maka diperlukan suatu manajemen terpadu antara program pemantauan kebutuhan tenaga kerja asing di luar negeri oleh diplomasi perwakilan Republik Indondesia di luar negeri, program perlindungan buruh migran, dan program-program peningkatan keterampilan di dalam negeri yang sesuai dengan kebutuhan pasar internasional. Informasi mengenai kondisi serta kebutuhan tenaga kerja di mancanegara diharapkan dapat tersedia bagi para calon tenaga kerja migran, sehingga mereka mengetahui dengan jelas kondisi dan resiko kesempatan tersebut. Umumnya informasi yang paling baik bukan dari sumber resmi pemerintah tetapi dari mantan tenaga kerja migran, tetapi pemerintah sebaiknya dapat membantu menyediakan informasi yang benar.
Peran jasa pengerah tenaga kerja Indonesia tetap sangat penting, karena pemerintah tidak akan berhasil melaksanakannya sendiri, tetapi ketertiban dan cccccpemantauan merupakan tujuan pemerintah untuk melindungi calon tenaga kerja. Salah satu hal yang perlu diketahui oleh calon tenaga kerja migran Indonesia adalah menyiapkan diri untuk memenuhi kualifikasi yang diharapkan oleh pengguna jasa tenaga kerja tersebut.
Oleh karena itu tanggal 18 Oktober 2004, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dalam undang-undang ini selain mengatur tentang landasan hukum bagi perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, juga mengatur tentang kompetensi calon tenaga kerja. Dalam hal ini dinyatakan bahwa calon tenaga kerja wajib memiliki sertifikat kompetensi kerja sesuai dengan prasyarat jabatan. Jika belum memiliki, wajib mengikuti pendidikan dan latihan yang diselenggarakan oleh pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia. Pendidikan dan latihan dimaksudkan untuk (Sembiring, 2006):
1.Membekali, menempatkan dan mengembangkan kompetensi kerja calon tenaga kerja Indonesia.
2.Memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang situasi, kondisi, adat istiadat, budaya, agama, dan resiko kerja diluar negeri.
3.Membekali kemampuan berkomunikasi dalam bahasa negara tujuan dan
4.Memberi pengetahuan dan pemahaman tentang hak dan kewajiban calon tenaga kerja.
Oleh karena itu dalam sudut pandang normatif, dengan dikeluarkannya undang- undang ini, maka perlindungan hukum bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri semakin kuat

D.PENGERTIAN REMITAN

Pada mulanya istilah remitan (remittance) adalah uang atau barang yang dikirim oleh migran ke daerah asal, sementara migran masih berada di tempat tujuan (Connell, 1976). Namun kemudian definisi ini mengalami perluasan, tidak hanya uang dan barang, tetapi keterampilan dan ide juga digolongkan sebagai remitan bagi daerah asal (Connell, 1980). Keterampilan yang diperoleh dari pengalaman bermigrasi akan sangat bermanfaat bagi migran jika nanti kembali ke desanya. Ide-ide baru juga sangat menyumbang pembangunan desanya. Misalnya cara-cara bekerja, membangun rumah dan lingkungannya yang baik, serta hidup sehat.
Remitan menurut Curson (1981) merupakan pengiriman uang, barang, ideide pembangunan dari perkotaan ke pedesaan dan merupakan instrumen penting dalam kehidupan sosial ekonomi suatu masyarakat. Dari segi ekonomi keberadaan remitan sangatlah penting karena mampu meningkatkan ekonomi keluarga dan juga untuk kemajuan bagi masyarakat penerimanya.
Pada kehidupan masyarakat desa, remitan yang dikirim karena pada dasarnya antara keluarga yang ada di kota dan di desa merupakan satu kesatuan ekonomi. Remitan atau yang lazim mereka sebut “kiriman” selain ditujukan untuk keluarganya juga ditujukan untuk anggota masyarakat desanya dan juga untuk keperluan desa asalnya.
Remitan atau kiriman yang ditujukan untuk keluarga lebih bersifat ekonomi dan pengiriman dilakukan secara rutin karena dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari, untuk biaya pendidikan, kesehatan dan untuk menunjang kehidupan orang tua “pengganti” seperti “simbah-simbah” (nenek dan kakek) yang mengganti peran orang tua. Selain dalam bentuk uang para masyarakat migran juga mengirim barang-barang seperti pakaian, perabot rumah tangga, alat elektronik, dan juga mampu menginvestasikan kiriman dengan membeli tanah serta membuka usaha baru di desanya yang dijalankan oleh anggota keluarganya yang masih tinggal di desa.
Di samping mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga dan kerabatnya, seorang migran juga berusaha untuk pulang dan mengirim remitan ke daerah asal pada saat diadakan upacara yang berhubungan dengan siklus hidup (life cycle) manusia misalnya kelahiran, perkawinan dan kematian. Pada saat itulah jumlah remitan yang dikirim lebih besar daripada hari-hari biasanya (Curson, 1981). Remitan yang dipergunakan untuk tujuan membantu anggota masyarakat yang sedang mempunyai hajat lebih dikenal dengan sebutan “sumbangan” Meningkatnya jumlah “sumbangan” pada acara-acara tersebut sangat erat kaitannya dengan prinsip gotong royong. Pada saat acara pernikahan antar para pedagang seakan berlomba untuk memberi sumbangan karena hal itu berkaitan dengan “gengsi” dan prestise mereka di mata masyarakat.

E.TUJUAN UTAMA REMITAN

Tujuan pengiriman remitan akan menentukan dampak remitan terhadap pembangunan daerah asal. Berbagai pemikiran dan hasil penelitian telah menemukan keberagaman tujuan remitan ini, namun demikian dapat dikelompokkan atas tujuan-tujuan sebagai berikut:
a. Kebutuhan hidup sehari-hari keluarga
Sejumlah besar remitan yang dikirim oleh migran berfungsi untuk menyokong kerabat/keluarga migran yang ada di daerah asal. Migran mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mengirimkan uang/barang untuk menyokong biaya hidup sehari- hari dari kerabat dan keluarganya, terutama untuk anak-anak dan orang tua. Hal ini ditemukan Caldwell (1969) dalam Mantra (1994) pada penelitian di Ghana, Afrika. Di daerah ini, 73 persen dari total remitan yang dikirimkan oleh migran dituju¬kan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dari keluarga di daerah asal.

b. Peringatan hari-hari besar yang berhubungan dengan siklus hidup manusia
Di samping mempunyai tanggung jawab terhadap kebutuhan hidup sehari-hari keluarga dan kerabatnya, seorang migran juga berusaha untuk dapat pulang ke daerah asal pada saat diadakan peringatan hari-hari besar yang berhubungan dengan siklus hidup manusia, misalnya kelahiran, perkawinan, dan kematian. Menurut Curson (1983) pada saat itulah, jumlah remitan yang dikirim atau ditinggalkan lebih besar daripada hari-hari biasa.

c. Investasi
Bentuk investasi adalah perbaikan dan pembangunan peruma¬han, membeli tanah, mendirikan industri kecil, dan lain-lain¬nya. Kegiatan ini tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga sebagai sarana sosial dan budaya dalam menjaga kelangsungan hidup di daerah asal, tetapi juga bersifat psikologis, karena erat hubungannya dengan prestise seseorang. Effendi (1993) dalam penelitiannya di tiga desa Jatinom, Klaten menemukan bahwa remitan telah digunakan untuk modal usaha pada usaha-usaha skala kecil seperti pertanian jeruk, peternakan ayam, perdangan dan bengkel sepeda.

d. Jaminan hari tua
Migran mempunyai keinginan, jika mereka mempunyai cukup uang atau sudah pensiun, mereka akan kembali ke daerah asal. Hal ini erat kaitannya dengan fungsi investasi, mereka akan membangun rumah atau membeli tanah di daerah asal sebagai simbol kesejahteraan, prestisius, dan kesuksesan di daerah rantau. Lee (1992) mengemukakan bahwa berbagai pengalaman baru yang diperoleh di tempat tujuan, apakah itu keterampilan khusus atau kekayaan, sering dapat menyebabkan orang kembali ke tempat asal dengan posisi yang lebih menguntungkan Selain itu, tidak semua yang bermigrasi bermaksud menetap selama- lamanya di tempat tujuan.

F.FAKTOR PENENTU REMITAN

` Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa besarnya remitan yang dikirimkan migran ke daerah asal relatif bervariasi. Penelitian yang dilakukan Rose dkk (1969) dalam Curson (1983) terhadap migran di Birmingham menemukan bahwa remitan migran India sebesar 6,3 persen dari penghasilannya sedangkan migran Pakistan mencapai 12,1 persen. Bahkan dalam penelitian yang dilakukan Jellinek (1978) dalam Effendi (1993) menemukan bahwa remitan yang dikirimkan para migran penjual es krim di Jakarta mencapai 50 persen dari penghasilan yang diperolehnya.
Besar kecilnya remitan ditentukan oleh berbagai karakteristik migrasi maupun migran itu sendiri. Karakteristik tersebut mencakup sifat mobilitas/migrasi, lamanya di daerah tujuan, tingkat pendidikan migran, penghasilan migran serta sifat hubungan migran dengan keluarga yang ditinggalkan di daerah asal.
Berkaitan dengan sifat mobilitas/migrasi dari pekerja, terdapat kecenderungan pada mobilitas pekerja yang bersifat permanen, remitan lebih kecil dibandingkan dengan yang bersifat sementara (sirkuler) (Connel,1980). Hugo (1978) dalam penelitian di 14 desa di Jawa Barat menemukan bahwa remitan yang dikirimkan oleh migran sirkuler merupakan 47,7 persen dari pendapatan rumah tangga di daerah asal, sedangkan pada migran permanen hanya 8,00 persen.
Sejalan dengan hal tersebut, besarnya remitan juga dipengaruhi oleh lamanya migran menetap (bermigrasi) di daerah tujuan. Lucas dkk (1985) mengemukakan bahwa semakin lama migran menetap di daerah tujuan maka akan semakin kecil remitan yang dikirimkan ke daerah asal.
Adanya arah pengaruh yang negatif ini selain disebabkan oleh semakin berkurangnya beban tanggungan migran di daerah asal (misalnya anak-anak migran di daerah asal sudah mampu bekerja sendiri), juga disebabkan oleh semakin berkurangnya ikatan sosial dengan masyarakat di daerah asal. Migran yang telah menetap lama umumnya mulai mampu menjalin hubungan kekerabatan baru dengan masyarakat/ lingkungan di daerah tujuannya.
Tingkat pendidikan migran lebih cenderung memiliki pengaruh yang positif terhadap remitan. Rempel dan Lobdell (1978) mengemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan migran, maka akan semakin besar remitan yang dikirimkan ke daerah asal. Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan fungsi remitan sebagai pembayaran kembali (repayment) investasi pendidikan yang telah ditanamkan keluarga kepada individu migran. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan migran menunjukkan besar kecilnya investasi pendidikan yang ditanamkan keluarga, dan pada tahap selanjutnya berdampak pada besar kecilnya "repayment" yang diwujudkan dalam remitan.
Pengaruh positif juga ditemukan antara penghasilan migran dan remitan (Wiyono,1994). Remitan pada dasarnya adalah bagian dari penghasilan migran yang disisihkan untuk dikirimkan ke daerah asal. Dengan demikian, secara logis dapat dikemukakan semakin besar penghasilan migran maka akan semakin besar remitan yang dikirimkan ke daerah asal.
Besarnya remitan juga tergantung pada hubungan migran dengan keluarga penerima remitan di daerah asal. Keluarga di daerah asal dapat dibagi atas dua bagian besar, yaitu keluarga inti (batih) yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak, serta keluarga di luar keluarga inti. Dalam konteks ini, Mantra (1994) mengemukakan bahwa remitan akan lebih besar jika keluarga penerima remitan di daerah asal adalah keluarga inti. Sebaliknya, remitan akan lebih kecil jika keluarga penerima remitan di daerah asal bukan keluarga inti.

G.REMITAN, PEMBANGUNAN DAERAH ASAL, DAN POLA KONSUMSI MIGRAN DI DAERAH ASAL

Remitan dalam konteks migrasi di negara-negara sedang berkembang merupakan bentuk upaya migran dalam menjaga kelangsungan ikatan sosial ekonomi dengan daerah asal, meskipun secara geografis mereka terpisah jauh. Selain itu, migran mengirim remitan karena secara moral maupun sosial mereka memiliki tanggung jawab terhadap keluarga yang ditinggalkan (Curson,1983). Kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang migran, sudah ditanamkan sejak masih kanak-kanak. Masyarakat akan menghargai migran yang secara rutin mengirim remitan ke daerah asal, dan sebaliknya akan merendahkan migran yang tidak bisa memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya.
Dalam perspektif yang lebih luas, remitan dari migran dipandang sebagai suatu instrumen dalam memperbaiki keseimbangan pembayaran, dan merangsang tabungan dan investasi di daerah asal. Oleh karenanya dapat dikemukakan bahwa remitan menjadi komponen penting dalam mengkaitkan mobilitas pekerja dengan proses pembangunan di daerah asal.
Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan di daerah Jatinom Jawa Tengah (Effendi, 1993). Sejak pertengahan tahun 1980an, seiring dengan meningkatnya mobilitas pekerja, terjadi perubahan pola makanan keluarga migran di daerah asal menuju pada pola makanan dengan gizi sehat. Perubahan ini tidak dapat dilepaskan dari peningkatan daya beli keluarga migran di daerah asal, sebagai akibat adanya remitan.
Peningkatan daya beli tidak hanya berpengaruh pada pola makanan, namun juga berpengaruh pada kemampuan membeli barang- barang konsumsi rumah tangga lainnya, seperti pakaian, sepatu, alat-alat dapur, radio, televisi dan sepeda motor. Permintaan akan barang-barang tersebut telah memunculkan peluang berusaha di sektor perdagangan, dan pada tahap selanjutnya berefek ganda pada peluang berusaha di sektor lainnya.
Namun di sisi lain, remitan ternyata tidak hanya mempengaruhi pola konsumsi keluarga migran di daerah asal. Dalam kerangka pemupukan remitan, migran berusaha melakukan berbagai kompromi untuk mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya, dan mengadopsi pola konsumsi tersendiri di daerah tujuan.
Para migran akan melakukan "pengorbanan" dalam hal makanan, pakaian, dan perumahan supaya bisa menabung dan akhirnya bisa mengirim remitan ke daerah asal. Secara sederhana para migran akan meminimalkan pengeluaran untuk memaksimalkan pendapatan. Migran yang berpendapatan rendah dan tenaga kerja tidak terampil, akan mencari rumah yang paling murah dan biasanya merupakan pemukiman miskin di pusat-pusat kota.
Bijlmer (1986) mengemukakan bahwa untuk memperbesar remitan, ada kecenderungan migran mengadopsi sistem pondok, yakni tinggal secara bersama-sama dalam satu rumah sewa atau bedeng di daerah tujuan. Sistem pondok memungkinkan para migran untuk menekan biaya hidup, terutama biaya makan dan penginapan selama bekerja di kota.
Hal yang sama juga ditemukan oleh Mantra (1994) dalam penelitiannya di berbagai daerah di Indonesia. Buruh-buruh bangunan yang berasal dari Jawa Timur yang bekerja di proyek pariwisata Nusa Dua Bali, tinggal di bedeng-bedeng yang kumuh untuk mengurangi pengeluaran akomodasi. di berbagai daerah di Indonesia. Bahkan dalam kasus yang lebih ekstrim ditemukan pada tukang becak di Yogyakarta yang berasal dari Klaten. Pada waktu malam hari tidur di becaknya untuk menghindari pengelua¬ran menyewa pondokan.

H.FAKTA TENTANG REMMITANCE

Sejumlah penelitian lapangan di beberapa negara-negara berkembang menampilkan bahwa penggunaan dan pemanfaatan remmitance bagi rumah tangga migran di pedesaan sangat bervariasi. Survei atas 1,646 rumah tangga di Philipina, yang salah satu anggota keluarga atau lebih bekerja di luar negeri pada krisis keuangan Asia tahun 1997 mendapati bahwa remiten justru mengalami peningkatan akibat menguatnya mata uang asing terhadap pesso, goncangan kurs pesso terhadap mata uang asing meningkatkan remiten yang diterima rumah tangga buruh. Lebih lanjut Dean Yang (2006) menemukan bahwa: These positive income shocks lead to enhanced human capital accumulation and entrepreneurship in migrants’ origin households. Child schooling and educational expenditure rise, while child labor falls. In the area of entrepreneurship, households raise hours worked in self-employment, and become more likely to start relatively capital-intensive household enterprises. Sejalan dengan tersebut di atas, penelitian Mariapia Mendola (2005) di dua desa asal buruh migrant di Bangladesh menunjukkan bahwa migrasi internasional banyak dikerjakan oleh kelompok rumah tangga yang cenderung lebih kaya ketimbang rumah tangga miskin di pedesaan. Kemampuan rumah tangga melakukan migrasi internasional telah meningkatkan rumah tangga mendiversifikasi sumber pendapatan, mempertinggi perilaku berani ambil resiko, serta meningkatkan pemekerjaan dan adopsi teknologi pertanian modern. Realitas tersebut menunjukkan remiten yang diterima oleh rumah tangga buruh mempunyai pengaruh kuat pada investasi di komunitas, baik untuk tujuan produktif maupun investasi bagi pendidikan anak-anak mereka.
Namun, penelitian Budi Wibawa, dkk (2008) menunjukkan bahwa dampak nyata migrasi pada peningkatan kesejahteraan atau investasi pada rumah tangga buruh migran masih terbilang minimal atau terbatas. Buruh migran menjadi profesi yang masih sekedar mencukupi kebutuhan untuk bertahan hidup dan celakanya subsistensi ini berlangsung berulang-ulang dan bahkan turun temurun (subsistensi permanent). Bahkan kebijakan inflasi targeting, pengurangan subsidi BBM, mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, keluarga-keluarga buruh migran menghadapi gerak ekonomi deficit atau survival. Disamping itu, rumah-rumah tangga miskin masih harus menanggung biaya masuk sebagai buruh migran yang relatif tinggi, sehingga tidak/belum mampu mempertinggi produksi atau investasi. Bahkan rumah tangga tetap terkunci pada suatu perangkap kemiskinan (a poverty-trap locking households), sehingga mereka tetap miskin (persistent poverty).
Buruh migran yang relatif berhasil dalam capaian remiten menghadapi efek demonstrasi yang berlebih (demonstrartion effects), sehingga kurang mampu menimbulkan investasi di tingkat lokal. Mayoritas buruh migran dan keluarganya menyatakan bahwa uang hasil kerja digunakan untuk kebutuhan pangan, kesehatan, membangun rumah, membeli televisi, sepeda motor, handphone, dan sebagainya. Dalam hal ini, artinya, remittance sebetulnya tidak pernah mengendap di desa sebagai usaha produktif sehingga memperkuat perekonomian komunitas dan daerah. Konsumsi atas barang-barang tersebut menyebabkan uang yang diperoleh secara cepat kembali merembet naik dan memperkaya kelas masyarakat di atasnya termasuk korporasi. Demikian juga dengan proses migrasi itu sendiri. Uang buruh migrant menyumbang kepada semua pihak yang dilalui selama melakukan migrasi: calo, sponsor, PJTKI, perusahaan asuransi, transportasi, maskapai penerbangan, perbankan, dan sebagainya. Belum lagi di wilayah gelap buruh migrant menyumbang untuk rentenir, preman dan aparat yang tidak sedikit jumlahnya. Hal-hal tersebut disebut sebagai trickle up effect.
Pemerintah sejauh ini juga tidak memiliki keseriusan, bahkan terkesan melakukan pembiaran atas berbagai persoalan kemiskinan yang terjadi di wilayah-wilayah komunitas asal buruh migrant. Belum ada program terencana dan menyeluruh dalam rangka mendayagunakan remittance buruh migrant, padahal dilihat dari jumlahnya dapat diduga potensinya yang sedemikian besar bagi pembangunan komunitas bahkan daerah. Paradigma pemerintah masih meletakkan pembangunan ketenagakerjaan pada modal investor dari luar. Tentu saja perkara ini tidak bisa dijawab sendirian oleh Departemen Tenaga Kerja, melainkan hal ini terkait langsung dengan paradigma pembangunan yang dipilih oleh Negara dan dengan sendirinya menjadi tanggung jawab pula bagi berbagai instansi lain semisal Departemen Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi serta Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah.

I.DAMPAK REMITAN DALAM EKONOMI, SOSIAL, DAN BUDAYA

Remitan ada dalam sepanjang sejarah migrasi. Curson mengungkapkan bahwa dampak remitan terhadap keluarga serta masyarakat penerimanya sangatlah kompleks. Secara garis besar dampak remitan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat penerimanya ada tiga. Pertama, ketergantungan ekonomi. Alur remitan tidak hanya untuk individu keluarga tertentu saja, tetapi dalam banyak kasus juga berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi daerah asal migran secara keseluruhan. Kedua, terjadi perubahan sosial. Ada dugaan atau anggapan bahwa remitan adalah suatu kekuatan positif yang mampu membuat perubahan di daerah pedesaan, seperti meningkatkan pendapatan perkapita, merupakan investasi, dan mampu meningkatkan mobilitas sosial.
Dampak remitan menurut laporan The State Word Population (1993), Hugo dan Renard (1987), di Asia atau negara-negara Afrika menunjukkan manfaat positif. Dampak positif remitan dipergunakan antara lain untuk memenuhi biaya sekolah, membiayai fasilitas pendidikan, kesehatan dan konsumsi. Yang paling penting remitan membantu mengentaskan keluarga dari kemiskinan. Tentu saja dampak negatifnya juga ada seperti sifat konsumerisme yang berlebihan dan tekanan inflasi (inflationary pressure), namun secara umum remitan berdampak positif baik bagi negara maupun keluarga pelaku mobilitas (dalam Wiyono, 1994).
Pada masyarakat desa dampak remitan ternyata sangat kompleks. Hal ini disebabkan karena remitan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan mereka karena sebagian besar keluarga yang tinggal di desa sangat menggantungkan kehidupan dari remitan. Dampak itu terlihat antara lain dalam perubahan ekonomi keluarga dan desa, perubahan gaya hidup, pola pengasuhan anak, serta pada tenaga kerja yang ada di desa.
Motif ekonomi merupakan alasan utama penduduk dalam melakukan pengiriman remitan. Para migran melakukan hal ini karena pada dasarnya walaupun mereka berusaha di kota tetapi keluarga di desa tetap merupakan satu kesatuan ekonomi. Pengiriman remitan selain untuk keperluan hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan kesehatan, juga digunakan untuk pembangunan rumah, membeli perabotan, alat elektronik dan juga investasi di desa.
Secara ekonomi di desa terjadi peningkatan dan kemajuan. Hal itu bisa terlihat dengan terjaminnya kehidupan ekonomi mereka dan secara fisik terlihat dari kondisi rumah mereka beserta perabotan yang ada di dalamnya. Bentukbentuk rumah semakin bagus dan berdasarkan pengamatan peneliti rata-rata kondisi rumah pedagang warteg memang bagus baik dilihat dari bentuk maupun bahan yang dipergunakan serta pengecatan rumahnya. Perabotan yang ada di rumah juga cukup lengkap misalnya bufet, sofa, almari, tv, radio, telepon, kipas angin, antena parabola, bahkan untuk peralatan kendaraan bermotor misalnya itu bukan hal yang baru lagi. Bahkan banyak diantara mereka yang sudah mempunyai kendaraan roda empat.
Meningkatnya remitan untuk kemajuan ekonomi keluarga juga berdampak pada kemajuan desa karena pada kenyataannya mereka juga menyumbangkan untuk keperluan pembangunan desa. Besarnya remitan untuk pembangunan desa memang sulit diukur secara statistik tetapi tampak nyata pada pembangunan sarana-sarana fisik di desa. Pembangunan balai desa, jalan raya desa, gang, perbaikan got, perbaikan gedung pos kamling adalah bentuk sumbangan yang telah diberikan oleh para migran.
Dari segi pembayaran pajak pun misalnya pajak bumi dan bangunan, serta pajak yang lainnya bisa dilunasi penduduk secara baik dan teratur. Penarikannya tergolong lancar asalkan pada saat penarikan mereka sedang berada di rumah. Kemandirian penduduk dalam proses pembangunan di desanya memang tidak diragukan lagi sehingga pada saat diadakan lomba desa untuk kriteria desa swadaya, Peningkatan perekonomian penduduk berpengaruh juga dalam hal perilaku sosial dalam masyarakat. Meningkatnya remitan yang mengalir ke desa menyebabkan perubahan gaya hidup dalam kehidupan masyarakat desa terlihat lebih konsumtif dan materialistis apalagi hal itu lebih sering dikaitkan dengan “simbol status” dan “prestise sosial” yang ingin diraihnya. Mereka beranggapan salah satu simbol keberhasilan dalam berusaha adalah rumah, sehingga dalam membangun rumah terkesan saling berlomba dan berusaha semewah mungkin padahal tidak jarang rumah banyak yang dtinggalkan kosong sementara mereka berusaha di kota. Mereka berusaha membanting tulang di kota tanpa menikmati kenyamanan, kemewahan, dan kemegahan rumahnya secara utuh yang merupakan hasil kerja keras mereka.
Kepemilikan materi pada masyarakat setempat juga dipakai sebagai sarana meningkatkan status sosial dalam masyarakat karena materi juga dijadikan sebagai indikator perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat. Semakin kaya seseorang maka ia akan semakin disegani dan tidak dipandang remeh dalam masyarakat. Bahkan kepala desa pun akhirnya ikut membeli mobil walaupun menurut pengakuannya hal itu bukan hal yang urgent tetapi itu dipakai supaya keberadaannya di tengah masyarakat tidak disepelekan dan tidak dipandang “sebelah mata” oleh masyarakat sehingga nantinya dalam menjalankan tugasnya bisa berjalan lancar dan baik di samping untuk meningkatkan rasa percaya dirinya
di tengah para anggota masyarakatnya.
Perubahan gaya hidup konsumtif dan suka pamer nampak juga pada saat di desa sedang ada acara dan saat lebaran. Pada saat inilah terlihat berbagai macam gaya busana dan berbagai macam perhiasan yang terutama dipakai oleh para ibu dan remaja putri. Demikian juga dengan perilaku para pemuda yang semakin jauh dari kesan “sopan”. Mereka banyak yang mulai berani kebutkebutan di jalan desa dan adanya kebiasaan miras (minuman keras) dan menegak pil “koplo”. Dari segi pola pengasuhan anak. Kehadiran dan kebersamaan orang tua selama masa pengasuhan kanak-kanak secara psikologis membawa pengaruh terhadap hubungan antara orang tua dengan anak. Dalam kehidupan masyarakat terjadi pergeseran pola pengasuhan anak. Pengasuhan beralih ke peran orang tua pengganti, kakek dan neneknya, karena orang tua pergi ke kota menjalankan usahanya. Pergeseran peran ke “Si Mbah-Mbah”-nya atau paman dan bibi yang masih tinggal di desa membawa pengaruh hubungan antara orang tua dengan anak kurang erat. Dari segi ekonomi para orang tua memang tetap bertanggung jawab tetapi untuk perhatian, bimbingan dan pengarahan sepenuhnya diserahkan kepada orang tua pengganti yang ada di desa karena mereka sudah sepenuhnya percaya kepada orang tua pengganti tersebut.
Meningkatnya remitan ke desa selain menyebakan peningkatan dalam bidang ekonomi juga menyebabkan peningkatan migrasi. Hal ini karena mereka tergiur oleh kesuksesan dan kemewahan yang dicapai oleh teman-temannya. Tenaga kerja produktif di desa semakin berkurang karena rata-rata penduduk yang melakukan urbanisasi adalah mereka yang berusia produktif dalam arti tenaganya sangat potensial menjalankan pekerjaan di daerah asal.

J.PENUTUP

Remitan adalah bentuk keterikatan dan keterkaitan penduduk yang melakukan mobilitas dengan daerah asalnya. Remitan merupakan indikator penting dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat penerimanya karena di samping bisa meningkatkan perekonomian masyarakat juga mempunyai dampak sosial lain seperti perubahan perilaku dan gaya hidup, perubahan orientasi hidup yang lebih “materialistis” dan juga pada tenaga kerja di daerah asal.
Banyaknya remitan yang mengalir ke desa ternyata membawa dampak tersendiri baik secara positif maupun negatif. Agar fungsi remitan dalam kehidupan masyarakat setempat bisa bermanfaat secara maksimal perlu diadakan penyuluhan dan pengarahan agar masyarakat tidak hanya berpijak pada pengumpulan materi saja tetapi lebih memperhatikan orientasi ke masa depan.
Peningkatan ekonomi sebaiknya juga disertai dengan kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi generasi selanjutnya. Pemerintah dan masyarakat setempat perlu menciptakan suatu usaha (padat karya) agar tidak terlalu banyak tenaga produktif yang terserap ke perekonomian kota.

DAFTAR PUSTAKA

Abustam, M.Idrus.2001.Mobilitas Tenaga Kerja dan Transformasi Sosial Ekonomi di Daerah Pedesaan Sulawesi Selatan. Makassar: Universitas Negeri Makassar.

Connel, Jhon, Biplab Dasgupta, Roy Laishley, Marchael Lipton. 1976. Migration From Rural Areas, The Evidence from Village Studies. Delhi: Oxford University Press.

Curson, Peter. 1981. Population Geography: A Journal Of Association Of Population Geographer Of India, Volume 3

Dep. P dan K. 1992. Dampak Urbanisasi Terhadap Pola Kegiatan Ekonomi Pedesaaan Indramayu (Proyek Penelitian Dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya) Everret, S. Lee. ......, Teori Migrasi, Yogyakarta: PPK UGM

Effendi, Tadjudin Noer. 1992. Perilaku Mobilitas Dan Struktur Sosial Ekonomi Rumah Tangga: Kasus Dua Desa Di Jawa Barat. Yogyakarta: PPK UGM

Giri,NP Rediatni. 2003. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengeluaran Konsumsi Pekerja Migran Nonpermanen di Kota Denpasar” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Gujarati, D.S.Z. 1999, Ekonomietrika Dasar, Cetakan keenam, Erlangga, Jakarta

Hugo. G. 2000. The Impact of The Crisis on Internal Population Movement in Indonesia. Bulletin of Indonesia Economic Studies. Vol 36, No. 2 Agusrus 2000. Australian National University Canbera.

Mantra, Ida Bagus. 1999. Mobilitas Penduduk Sirkuler dari Desa ke Kota di Indonesia. Seri Kertas Kerja No.30 Yogyakarta:PPK-UGM

Nopirin. 1997. Ekonomi Makro. Cetakan Keempat. BPFE: Yogyakarta Wijono, Nuhadi. 1994. Mobilitas Penduduk dan Revolusi Potensi Konflik. Warta Demografi, No 6: 4 -7

Rahayu, Maria Sri. 1999. Remitan dan Dampaknya Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus Terhadap Pedagang Warteg Desa Cabawan Kecamatan Margadana Kotamadya Tegal Jawa Tengah) (Skripsi)

Rusli, Said. 1983. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: PT Pustaka LP3ES

Sadono Sukirno. 1995. Pengantar Makroekonomi. Edisi Kedua. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Singarimbun, Masri. 1990. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES

Sunuharyo, Bambang. 1982. “ Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Pegawai Golongan Rendah di Perumnas Klender”, dalam Mulyanto Sumardi dan Han Dieter-Evers. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Jakarta: Rajawali Press.

Wiyono, Nur Hadi. 1994. Mobilitas Penduduk dan Revolusi Tranportasi, Warta Demografi No. 3, Jakarta: LD UI


0 komentar to "MOBILITAS PENDUDUK DAN REMITTANCES"

Posting Komentar

my photo

my photo

Cari Blog Ini

Selamat datang di CHUMMANK BLOG

Blog ini dapat menjadi solusi konkrit bagi anda semua, utamanya sebagai bahan referensi

PROPILKU

makassar, sulawesi selatan

Pengikut

Label

Blog Archive

Web hosting for webmasters