Melacak Akar Legalitas Privatisasi Pendidikan di Sulawesi Selatan Melalui Pendidikan Gratis dan Badan Hukum Pendidikan

A. PENDAHULUAN

Pendidikan dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah satu kebutuhan (jasa) asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang harus diemban oleh negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya.
Sedangkan GBHN 1988 (bp 7 pusat, 1990 : 105) memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut : pendidikan nasional berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pancasila serta undang-undang dasar 1945 di arahkan untuk mencerdasakan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat bangsa Indonesia yang beriman, dan bertaqwa terhadap tuhan yang maha esa, berkualitas, dan mandiri sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembagunan bangsa.
Defenisi tersebut menggambarkan terbentuknya manusia yang utuh sebagai tujuan pendidikan. Pendidikan memperhatikan kesatuan aspek jasmani dari rohani, aspek diri (individualitas) dan aspek social, aspek kognitif,afektif, dan psikomotor, serta segi serba keterhubungan manusia dengan dirinya (konsentris), dengan lingkungan social dan alamya (horizontal), dan dengan tuhannya (vertical)
Dari defenisi ini maka kita perlu mengetahui bahwa perlunya landasan dalam pelaksanan sebuah system pendidikan di sebuah Negara maka pancasila yang menjadi sumber pelaksanaan pemerinthan djadikan landasan filosofis sistem pendidikan nasional (sikdiknas) “ pada pasal 2 UU- RI no.2 tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar 1945”.
Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional berjalan dengan penuh dinamika seperti saat ini dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu political will dan dinamika sosial. Political will sebagai suatu produk dari eksekutif dan legislatif merupakan berbagai regulasi yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan diantaranya tertuang dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD 1945, maupun dalam regulasi derivatnya seperti UU No.2/1989 tentang Sisdiknas yang diamandemen menjadi UU No.20/2003, UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, serta berbagai rancangan UU dan PP yang kini tengah di persiapkan oleh pemerintah (RUU BHP, RPP Guru, RPP Dosen, RPP Wajib belajar, RPP Pendidikan Dasar dan Menengah, dsb). Kemudian dalam cakupan yang lebih operasional, maka peraturan menteri; peraturan daerah yang dibuat para gubernur, walikota/bupati; serta keseriusan para anggota DPRD juga memiliki andil yang besar untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan nasional dalam lingkup daerah. Adapun berkembangnya dinamika sosial sebagai bentuk aksi-reaksi masyarakat terhadap keberlangsungan berbagai bidang kehidupan (politik, ekonomi, sosial-budaya, bahkan ideologi) ditengah-tengah mereka juga turut mempengaruhi dinamika pendidikan, karena berbagai bidang kehidupan tersebut realitasnya merupakan subsistem yang saling mempengaruhi satu sama lain dalam suatu sistem yang lebih besar yaitu sistem pemerintahan. Pendidikan merupakan salah satu subsistem yang sentral, sehingga senantiasa perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan dalam menjaga kontinuitas proses kehidupan dalam berbagai aspek di tengah-tengah masyarakat (negara) tersebut (input-proses-output). Demikian, dalam upaya untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional ternyata memerlukan adanya perbaikan pula dalam aspek sistemik (regulasi) serta meningkatnya kontrol sosial dari masyarakat.
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia, Abdul Malik Fadjar (Mendiknas tahun 2001) mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Ia mengingatkan, pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, termasuk persoalan stabilitas dan keamanan, sebab pelaksanaan pendidikan membutuhkan rasa aman. Menanggapi hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei oleh lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (Kompas,5/9/2001).
Kemudian berdasarkan laporan dari United Nations Development Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175 negara ditambah wilayah khusus Hong Kong dan wilayah pendudukan Palestina yang diteliti Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Data yang termuat dalam situs www.undp.org/hdr2004 terasa menyakitkan jika posisi Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara anggota ASEAN lainnya. Singapura (25), Brunei Darussalam (33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Myanmar (132) dan Laos (135) (www.suara pembaruan.com/16 juli 2004 dan Pan Mohamad Faiz. 2006).
Kondisi ini menunjukan adanya hubungan yang berarti antara penyelenggaraan pendidikan dengan kualitas pembangunan sumber daya manusia indonesia yang dihasilkan selama ini, meskipun masih ada faktor-faktor lain yang juga mempengaruhinya.
Langka yang ditempuh pemerintah pun saat ini dengan pencanangan pendidikan gratis agar semua warga Negara mampu merasakan pendidikan yang layak meningkatkan kehidupan bangsa Indonesia. Inilah yang jadi pada pemerintahan gubernur sulawesi selatan saat ini yakni syahrul yasin limpo yang termasuk dalam jajaran pemerintah yang mengambil langkah awal dari insitif pemerintah pusat untuk menggratiskan pendidikan.

B. Efektifitas Pendidikan Gratis Terhadap Peningkatan Angka Kelulusan Siswa

Pada tanggal 8 Juli 2008, H. Syahrul Yasin Limpo – H.Agus Arifin Nu’mang tepat 90 hari atau tiga bulan menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan. Mereka resmi memimpin Sulsel sejak dilantik 8 April 2008 lalu oleh Mendagri Mardiyanto. Apa tanggapan masyarakat terhadap duet yang dahulu akrab disapa “Sayang” itu terkhusus pelaksanaan program andalannya; pendidikan dan kesehatan gratis? Ternyata, program itu dinilai masih pada tataran konsep, atau belum ada yang bisa diukur. Dua program yang merupakan pemenuhan basic need (kebutuhan dasar) masyarakat di Sulsel ini, baru sampai pada tataran memorandum of understanding (MoU) antara gubernur dengan 23 bupati/walikota se-Sulsel
Dalam MoU tersebut gubernur meminta kepada para bupati/walikota untuk segera mengalokasikan anggaran pendidikan dan kesehatan gratis di masing-masing APBD kabupaten/kota. Sistem sharing dana pun disepakati dalam MoU tersebut, di mana seluruh anggaran Rp 465 miliar pendidikan gratis selama satu tahun ditanggung Pemprov Sulsel 40 persen dan masing-masing kabupaten/kota menanggung 60 persen. Hal yang sama juga terjadi pada program kesehatan gratis.
Total anggaran yang dirancang Dinas Kesehatan Sulsel untuk enam bulan tahun ini sebesar Rp 50 miliar ini, 40 persen ditanggung Pemprov dan sisanya ditanggung masing-masing kabupaten/kota se-Sulsel. Biaya pendidikan dan kesehatan gratis itu 60 persen ditanggung pemprov dan 40 persen ditanggung kabupaten/kota. Ternyata bupati/walikota protes dan meminta mereka menanggung 60 persen. Gubernur menegaskan, salah satu contoh bahwa sudah ada perubahan di dunia pendidikan Sulsel adalah warning dari pemerintah melarang kepala sekolah atau guru untuk melakukan pungutan (pungli) di luar aturan yang ada.
Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) mencanangkan diri sebagai provinsi pertama di Indonesia yang melakukan pendidikan gratis dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan lanjutan tingkat atas. Pelaksanaan pendidikan gratis di Sulsel berasal dari 60 persen dari APBD provinsi dan 40 persen dari APBD Kabupaten dan Kota. Pendanaan pendidikan gratis sebelumnya memang belum dianggarkan. Namun, untuk APBD perubahan 2008, Syahrul menjamin akan segera dibahas. Karena telah ada komitmen dari Ketua DPRD Sulsel untuk mendukung pencanangan pendidikan gratis dari SD hingga SMA.
Sebelumnya, di Sulsel baru tiga kabupaten yang melakukan pendidikan gratis dari tingkat SD hingga SMA. Yakni Kabupaten Sinjai, Pangkep dan Gowa. Sedangkan, dalam tingkat provinsi, pedidikan gratis hanya dari tingkat SD hingga SMP.
Sementara, Mendiknas Bambang Sudibyo yang menghadiri pencanangan ini berharap, pendidikan gratis bukan hanya bualan politik saja dan dalam implementasinya, pendidikan gratis jangan mengorbankan mutu pendidikan.
Pendidikan gratis akan dilaksanakan secara berkelanjutan dan tidak bermaksud untuk menggantikan peranan Program pusat yang telah diluncurkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Kabupaten / Kota, tetapi akan dilaksanakan dengan saling mengisi sehingga biaya pendidikan Gratis tidak lagi menjadi beban masyarakat Sulawesi Selatan.
Penerapan pendidikan gratis di Sulawesi Selatan tinggal menunggu penerapannya. Pemerintah provinsi Sulsel sudah mengalokasikan biaya pendidikan untuk 23 kabupaten/kota. Seperti yang dilansir di www.tribun-timur.com, Menurut Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo, beberapa komponen pembiayaan pendidikan digratiskan, atau bebas biaya dan beberapa komponen mengalami penambahan. Penambahan tersebut seperti dana BOS SD/MI sebesar Rp. 4.000 per bulan persiswa. “Sedangkan untuk dana BOS SMP/MTs sebesar Rp. 17.600 per bulan per siswa,” jelas Syahrul YL.
Sementara, tambahan dana BOS regular untuk SD/MI sebesar Rp. 21.167 per bulan per siswa. Sedangkan dana BOS regular untuk SMP/MTs sebesar Rp. 29.500 per bulan per siswa. “Ada 14 komponen pembiayaan dana BOS, diantaranya penerimaan murid baru, pembelian buku pelajaran, jasa listrik, kegiatan MGMP, ulangan harian serta masih banyak lagi,”
Namun demikian, penerapan kebijakan pendidikan gratis di sekolah agar jangan sampai mengorbankan mutu pendidikan. Dampak dari implementasi kebijakan ini perlu dilihat secara komprehensif. Bagaimana dampaknya terhadap penegakan peraturan di sekolah. Selain itu, bagaimana dampaknya pada disiplin moral guru dan kepala sekolah. “Akan dilihat bagaimana dampak kebijakan ini pada mutu pendidikan” (Mendiknas, Pers Depdiknas)
Dampak lain dari penerapan kebijakan pendidikan gratis yang perlu dicermati yaitu terhadap pemenuhan standar nasional pendidikan. Standar tersebut, lanjut Mendiknas, meliputi standar isi, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar proses pembelajaran, standar evaluasi pendidikan, dan standar pengelolaan pendidikan.
Dari sinilah kita bisa melihat bahwa dengan diberlakukannya pendidikan gratis maka tidak serta merta mutu pendidikan bisa terangkat karena pendidikan gratis dengan peningkatan mutu pendidikan dengan kelulusan siswa sma dengan standar UN yang dijadikan barometernya merupakan dua buah paket yang berbeda.
Pada tahun 2008 kemarin dimana angka kelulusan siswa sma mencapai 95.52 atau 4.48 persen siswa yang dinyatakan tidak lulus atau sekitar 3.645 siswa dari sekitar 81.023 peserta ujian nasional (UN) SMA dengan angka yang cukup membanggakan itu ternyata di coreng oleh tindakan beberapa oknum yang melakukan kecurangan dalam pelaksaaan UN yang melibatkan lima sekolah swasta. Kelima sekolah tersebut adalah SMA Kartika Wirabuana, SMA Cokroaminoto Latimojong, SMA Cokroaminoto Tamalanrea, SMA Abdi Pembangunan, SMA Tut Wuri Handayani, dan SMA Tri Dharma. Selain ditangani aparat kepolisian, kasus yang mencoreng nama Sulsel itu membuat siswa di keenam sekolah tersebut harus mengikuti UN ulang.
Sedangkan angka kelulusan tahun ini mencapai,53% dari 2008 sebesar 95,52%. dengan hasil seperti itu maka kita sudah dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa pendidikan gratis yang dicanagkan oleh pemerintah sulawesi selatan mengalami kegagalan karena dengan barometer kelulusan UN yang kita lihat hari ini (selas 16 juni) mengalami angka penurunan tingkat ketidaklulusan di Kota Makassar meningkat jadi 83,8%. Dari 12.942 peserta UN SMA, yang lulus hanya 10.835 siswa.
Diharapkan dari tahun ketahun agar ada pembenahan dalam pelaksanaan proses pendidikan termaksud pelaksanaan ujian nasional seperti yang dilaksanakan bulan mei lalu pada tahun ini (2009). Karena pendididkan gratsis itu sendiri mempunyai tujuan gar semua masyarakat mampu merasakan bangku sekolah bukan untuk memeberikan pengetahuan dengan mutu yang rendah karena hal itu akan membuat bangsa ini makin terperosok dalam kemiskinan mutu SDM nya.
Selain itu pendidikan gratis itu sendiri sebenarnya perlu di sosialisasikan lebih lanjut lantaran terjadi sebuah salah presepsi di kalngtan masyarakat karena kata “gratis” itu di anggap sebagai bebas dari segalanya namun kenyataanya masih banyak sekolah yang melakukan pemungutan biaya kepada orang tua siswa dengan dalil uang gedung,pembanguan, dan sebagainya.
Kejadian seperti itu biasa terjadi karena anggaran pendidikan yang di anggarkan pemerintah pusat sebesar 20 % selain tidak samapai pada tangan yang tepat sering kali juga malah di salah gunakan, sehingga untuk menutupi penggunaan anggaran terkadang di lakukan pemungutan biaya kepada orang tua siswa.
Sebagai penyampaian dari Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menegaskan di Makassar, Jumat (6 Juni 2008) --, penerapan kebijakan pendidikan gratis di sekolah agar jangan sampai mengorbankan mutu pendidikan. Dampak dari implementasi kebijakan ini perlu dilihat secara komprehensif. Bagaimana dampaknya terhadap penegakan peraturan di sekolah. Selain itu, bagaimana dampaknya pada disiplin moral guru dan kepala sekolah. "Akan dilihat bagaimana dampak kebijakan ini pada mutu pendidikan". Mendiknas menyampaikan hal tersebut pada Rapat Koordinasi Pembangunan Bidang Pendidikan se Provinsi Sulawesi Selatan di Kantor Rumah Dinas Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan, Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan pada Jumat (6/06/2008).
Mendiknas menyebutkan, dampak lain dari penerapan kebijakan pendidikan gratsis yang perlu dicermati yaitu terhadap pemenuhan standar nasional pendidikan. Standar tersebut, lanjut Mendiknas, meliputi standar isi, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar proses pembelajaran, standar evaluasi pendidikan, dan standar pengelolaan pendidikan. "Kalau memang ini sukses maka saya akan perjuangkan model ini menjadi model di seluruh Indonesia," katanya.
Lebih lanjut Mendiknas menyampaikan, terkait dengan pendidikan gratis, perlu memperhatikan beberapa kebijakan di tingkat nasional yakni, kebijakan buku murah, permasalahan guru, penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemberantasan buta aksara, rasio jumlah siswa SMA:SMK, dan sekolah berstandar internasional (SBI).
Mendiknas menjelaskan, terkait kebijakan buku murah, saat ini pemerintah telah membeli sebanyak 49 jilid buku pada jenjang SD, SMP, dan SMA. Dia mengatakan, target Depdiknas sampai dengan pertengahan tahun 2008 akan membeli sebanyak 250 jilid buku. Selanjutnya, kata Mendiknas, buku-buku dalam bentuk elektronik tersebut akan dimasukkan ke dalam website agar dapat diunduh untuk diperbanyak, digandakan, dan dicetak untuk diperdagangkan. Khusus untuk buku yang akan diperdagangkan, kata Mendiknas, harus mengikuti harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan. Menurut dia, HET buku-buku tersebut berkisar antara Rp.4.500,00 untuk buku SD sampai dengan Rp. 14.000,00 untuk buku SMA.
Mendiknas menyampaikan, terkait permasalahan guru, bahwa semua guru pada akhir 2014 harus berkualifikasi S1 atau D4. Dia mengungkapkan, pada saat Undang-Undang Guru dan Dosen disahkan tahun 2005 hanya 30 persen guru yang sudah berkualifikasi S1. "Setelah dua tahun berjalan, guru yang sudah S1 mencapai 40 persen lebih," katanya. Sementara, lanjut Mendiknas, jumlah guru di Provinsi Sulawesi Selatan sampai dengan akhir tahun 2007, dari sebanyak 98.000 lebih guru sudah ada sebanyak 40.000 guru yang berkualifikasi S1 atau 40,72 persen. "Jadi sudah bergeser lebih dari sepuluh persen dalam waktu dua tahun," katanya.

C. Badan Hukum Pendidikan

RENCANA Depdiknas untuk membagi jalur pendidikan menjadi dua kanal; jalur pendidikan formal mandiri dan formal standar, menuai banyak protes. Yang menjadi keberatan khalayak, bukan saja itu dinilai berdasarkan atas perbedaan kelas sosial dan ekonomi, namun juga atas dasar kemampuan akademik, yang berasumsi bahwa manusia bodoh tidak punya hak untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan berkualitas.
Alhasil, yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yang berkualitas diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara orang miskin akan tetap dengan kondisinya. Dari sini pemerintah terkesan ingin melepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) gratis, bermutu, dan berkualitas bagi rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas, pada Kabinet Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada terwujudnya privatiasi pendidikan, di mana tanggung jawab pemerintah terkurangi, bahkan dilepas sama sekali.
Nuansa "privatisasi" atau upaya pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, terutama pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis dan bermutu, sudah terlihat dalam legalitas pendidikan. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.
Penurunan derajat kewajiban pemerintah juga terlihat di Pasal 11 UU Sisdiknas, Ayat (1) dan (2). Dengan halus, pasal ini secara bertahap ingin menurunkan kadar "kewajiban" pemerintah menjadi "sunnah", dengan kata-kata "menjamin terselenggarakannya" pendidikan dari suatu "keharusan". Lengkapnya dinyatakan dalam Ayat (1), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggarakannya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi", dan juga Ayat (2), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggarakannya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun".
Padahal, masih dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".
Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya".
Kembali kepada penerapan undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV.26-4).
Kemudian, pengakuan yang sama juga terungkap dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Wajib Belajar, di mana pemerintah mulai mengikutkan masyarakat dalam pembiayaan sekolah dasar. Hal itu diungkap pada Pasal 13 Ayat (3), ""Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat".
Ujung dari pelegalan privatisasi pendidikan, terlihat dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Dalam RUU tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Hal itu terlihat dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri.
Bahkan, pemerintah secara gamblang mereposisi posisinya dari penanggung jawab tunggal pendidikan dasar gratis menjadi hanya "fasilitator". Lengkapnya terungkap dalam bab pertimbangan pada butir (b) di awal RUU BHP yang berbunyi, "bahwa penerapan prinsip otonomi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, menuntut perlunya reposisi peran pemerintah dari penyelenggara menjadi pendiri dan fasilitator untuk memberdayakan satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan". Dengan berlakunya RUU BHP, terkesan pemerintah ingin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 Pasal 31 dengan melepas tanggung jawab atas penanganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu.
Dengan sejumlah legalitasnya, ke depan akan tampak di hadapan mata sejumlah model privatisasi pendidikan, baik yang nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang sudah terjadi ialah adanya cost sharing, di mana pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.
Selain itu, munculya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi arus lainnya. Dalam hal ini, sekolah "dipaksa" untuk melengkapi dirinya dengan komputer dan peralatan canggih lainnya, seperti AC (pendingin ruangan) dan televisi. Akibat sampingan dari hal itu, seperti disinyalir anggota DPRD DKI Jakarta, seluruh sekolah penerima bantuan block grant di Jakarta telah menyalahi penggunaannya dengan mengalirkan bantuan untuk pembelian alat di luar keperluan anak didik (Kompas, 9 April 2005), yaitu pembelian alat yang bisa dijadikan alasan untuk pemenuhan KBK. Dari sini timbul kesan bahwa penggunaan sistem KBK, bila belum siap infrastruktur dan SDM-nya, akan menjadi alat industrialisasi.
Kemudian, pada sisi lain, pemerintah juga memberlakukan sistem "guru kontrak". Ke depan, tenaga pengajar layaknya pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila kontraknya selesai, sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya di luar itu. Selain itu, kebijakan otonomi daerah juga menjadi alasan pemerintah untuk berbagi beban dalam pendanaan pendidikan. Walaupun dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang terjadi pengalihan kekuasaan dari pusat ke pemerintah daerah. Alhasil, pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu kini berada di persimpangan jalan, sebab kelangsungannya sebagian menjadi wewenang pemerintah daerah.
Apalagi dengan adanya RUU BHP, pendidikan malah dijadikan sarana untuk menjadi penambahan pendapatan asli daerah (PAD). Hal itu dimungkinkan karena dengan adanya RUU tersebut, nantinya semua satuan pendidikan-termasuk pendidikan dasar dan menengah-wajib menjadi Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM), seperti yang tertera dalam Pasal 46 Ayat (4). Dengan menjadi BHPDM, maka pihak sekolah wajib meminta izin kepada pihak pemda. Di sinilah kekhawatiran akan pemanfaatan perizinan pendidikan menjadi pemasukan PAD akan terjadi.
Terakhir, dengan berubahnya status satuan pendidikan menjadi BHPDM maka nantinya tidak ada lagi sekolah dasar negeri, namun yang tersisa ialah sekolah yang dimiliki masyarakat ataupun pemda. Sementara pemerintah, di sisi lain, lepas tangan dan berkonsentrasi mengurusi biaya beban utang luar negeri yang kian membengkak. Di sinilah hal penting sedang terjadi, yaitu pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 31, secara nyata dilakukan dengan sistematis oleh para penyusun UU dan PP, serta RUU di bawah UUD 1945.
Bila pemerintah ingin melepaskan tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan pendidikan dasar gratis dan bermutu, maka UUD 1945 Pasal 31 perlu diamandemen. Bila hal itu tidak dilakukan, maka bagi yang tidak menjalankannya dianggap melanggar UUD 1945.

D. Dilema Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan

Saat ini di Sulsel sedang menghadapi sebuah dilema, terkait dengan program pendidikan gratis yang telah dicanangkan oleh Pemprov Sulsel dan bekerja sama dengan 23 Pemkab/Pemkot. Hal itu disebabkan oleh adanya tarik ulur antara pihak eksekutif dan legislatif yang ada di DPRD Sulsel.
Penyebabnya adalah tambahan biaya pendidikan gratis dalam APBD Perubahan 2008 dan menurut eksekutif anggaran tersebut dimasukkan ke dalam belanja tidak langsung. Tetapi usulan itu ditolak dengan alasan bahwa kalau anggaran bersifat tidak langsung, maka pertanggungjawabannya sangat sulit dan tidak bisa diukur kinerja penggunaan anggaran itu.
Pihak dewan yang tergabung dalam panitia anggaran DPRD Sulsel, mengusulkan agar pemerintah daerah perlu membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang pendidikan gratis itu. Alasannya kalau payung hukumnya adalah Perda, maka semua pihak bisa mengukur kinerja penggunaan anggaran yang menggunakan ratusan milyaran itu.
Sebagai ilustrasi, di Kabupaten Pangkep Sulsel merupakan salah satu daerah yang pertama menerapkan pendidikan gratis di Sulsel. Dalam kurun waktu tiga tahun itu, Pemkab Pangkep hanya menggunakan acuan SK Bupati sebagai payung hukum dalam program pendidikan gratis tersebut. Kini, pemerintah setempat sedang menggodok untuk melahirkan perda sebagai kesempurnaan dari SK Bupati tersebut.
Yang menjadi perbedaan adalah program pendidikan gratis yang dicanangkan oleh Bupati Pangkep Syafrudin Nur, bukan merupakan sebuah program dan kemauan politik. Artinya program tersebut lahir setelah beliau dilantik. Justru yang berbeda dengan Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo. Program pendidikan gratis merupakan bahan kampanye dan mengantarkan beliau duduk sebagai orang nomor satu di Sulsel.
Karena merupakan bahan kampanye, publik sangat menuntut dimana dan bagaimana realisasi janji tersebut diimplementasikan. Apalagi di DPRD Sulsel terdiri dari beberapa legislator yang berbeda partai, ada yang mendukung dan bahkan ada yang ingin menjegal program pendidikan gratis.
Kalau mau jujur, sebenarnya program pendidikan gratis bisa saja diterapkan secara keseluruhan tanpa ada perda yang mengatur, seperti yang dilakukan oleh Pemkab Pangkep. Setelah berjalan beberapa tahun, dapat dilakukan revisi atau penyempurnaan dari peraturan sebelumnya, kalau dianggap bahwa peraturan gubernur ditemukan berbagai kelemahan.
Tetapi kalau program tersebut masih digiring ke dalam muatan politik, maka sampai kapanpun persoalan alokasi anggaran pendidikan gratis tidak bisa mendapat titik temu. Apalagi pihak legislator berbicara mengenai kinerja dalam konteks politik, sementara pihak eksekutif ingin mewujudkan program pendidikan gratis karena merupakan kontrak politik kepada rakyat Sulsel.
E. Masalah yang Perlu Dibenahi Dalam Rangka Meningkatkan Mutu Pendidikan di Sulawesi Selatan.
Beberapa yang harus di perhatikan yaitu dalam pelaksanaan pendidikan gratis ini agar pelaksanaannya lebih optimal yaitu : Sumber pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.
Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar.
Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar.
Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran. Sayangnya, penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi masih membingungkan.
Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan.
Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan. Penulis percaya, sebetulnya pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala, setahun dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp 17,4 triliun Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain seperti di AS sudah tersistem dalam satu kesatuan administrasi negara.
Adanya beberapa program yang dilaksanakan namun terjadi pro dan kontra dalam kebijakan pendidikan yaitu :
1. Program beasiswa belum menjamin terjadinya peningkatan mutu pendidikan.
Beasiswa yang dikucurkan oleh Pemerintah Kota Semarang untuk siswa bertujuan sangat mulia yaitu membantu meringankan beban masyarakat. Akan tetapi tujuan yang baik dari pemerintah ini tidak didukung oleh masyarakat dan siswa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari siswa yang mendapat beasiswa tidak lebih baik daripada siswa yang tidak mendapat beasiswa bahkan sebaliknya. Sepanjang pengamatan penulis, dari segi prestasi dan kedisiplinan, siswa yang mendapat beasiswa justru lebih jelek dibanding yang tidak mendapat beasiswa. Topangan beasiswa tidak mendorong mereka untuk lebih berprestasi. Hal ini disebabkan karena perekrutan siswa untuk mendapat beasiswa lebih banyak didasarkan karena mereka miskin (syarat mendapatkan beasiswa salah satunya adalah mempunyai kartu miskin) bukan karena berprestasi. Harusnya prioritas utama adalah miskin dan berprestasi.

2. Pendidikan bukan prioritas utama
Masyarakat masih memandang pendidikan sebagai paradigma sosial. Sehingga cuma ada satu jalur yaitu bahwa pendidikan adalah hak bukan kewajiban. Pandangan ini mengakibatkan prioritas utama masyarakat adalah memenuhi kebutuhan lain selain pendidikan. Fenomena ini dapat dilihat ditengah masyarakat. Mereka lebih memprioritaskan membeli kebutuhan sekunder seperti televisi misalnya dibanding untuk membayar uang sekolah. Tunggakan SPP berbulan-bulan tidak menjadi masalah dibanding tidak punya baju yang bagus. Membeli pulsa HP menjadi suatu kebutuhan dibanding untuk membayar buku sekolah. Kalau boleh dilogikakan, uang SPI yang katanya mahal sebetulnya lebih murah dibanding harga HP dan pulsanya tiap bulan. Katakan misal besarnya uang SPI Rp. 2.000.000, uang ini digunakan untuk 36 bulan, jadi dalam satu bulan orang tua hanya dibebani kurang lebih Rp. 55.000. Sementara untuk membeli HP dan pulsanya orang tua akan akan mengeluarkan uang sebanyak Rp. 64.000. Sebagai contoh harga HP Samsung SGH adalah Rp. 500.000, untuk 36 bulan, maka satu bulan akan keluar uang Rp. 14.000 ditambah harga pulsa Rp. 50.000 tiap bulan sehingga total uang keluar Rp. 64.000. Jadi uang untuk pemakaian HP dalam satu bulan lebih mahal Rp. 9.000 dibanding uang SPI. Sepanjang pengamatan penulis, banyak siswa yang mendapat beasiswa justru mempunyai HP yang cukup canggih dengan pemakaian pulsa yang cukup tinggi tiap bulannya.

3. Kesejahteraan guru dan karyawan akan menurun.
Di lingkungan sekolah ada tiga jenis pegawai, yaitu PNS, Tenaga Kontrak dan Pegawai Tidak Tetap. Gaji PNS dan tenaga kontrak dibayar oleh pemerintah sementara gaji Pegawai Tidak Tetap dibayar dari uang komite sekolah. Pembebasan uang sekolah akan menyebabkan komite sekolah tidak mempunyai uang untuk membayar gaji PTT dan GTT. Padahal banyak sekolah negeri yang mempunyai PTT dan GTT cukup banyak. Sehingga muncul pertanyaan darimana uang untuk membayar gaji mereka. Kalau misalnya nanti gaji mereka ditanggung oleh pemerintah, apakah sudah ada alokasi dana ke arah itu. Biasanya persetujuan alokasi dana membutuhkan birokrasi yang cukup panjang sementara tuntutan membayar gaji tidak bisa menunggu pengetokan palu persetujuan. Hal ini perlu dipikirkan karena ini menyangkut nasib GTT dan PTT. Jangan kebijakan hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain.

4. Biayanya operasional sekolah akan terganggu.
Kelancaran Kegiatan belajar mengajar di sekolah banyak ditopang oleh operasional biaya yang lancar. Selama ini operasional sekolah untuk mendukung KBM lebih banyak diperoleh dari orang tua. Sehingga ketika sekolah digratiskan apakah sekolah tidak kalang kabut untuk menutup biaya operasional sekolah ? Yang kemudian akan mengganggu kegiatan belajar mengajar ? Yang justru akan menurunkan mutu pendidikan

5. Sekolah gratis tidak membuat masyarakat dewasa
Ketika pemerintah meluncurkan program Bantuan Tunai Langsung (BTL), yang terjadi bukan membantu masyarakat justru sebaliknya mengakibatkan masyarakat sangat tergantung dengan bantuan itu. Mereka tidak berusaha sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya malah justru menunggu bantuan cair. Padahal menurut pepatah, akan lebih baik memberi kail dan umpannya daripada memberi mereka ikan.

6. Program sekolah gratis akan menyebabkan masyarakat tidak merasa memiliki tanggung jawab
Program sekolah gratis akan menyebabkan masyarakat tidak merasa memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan belajar anaknya di sekolah karena mereka tidak mempunyai kewajiban untuk membayar uang sekolah. Ini justru akan kontra produktif untuk kemajuan pendidikan.

Dari pemaparan di atas, program sekolah gratis menurut hemat penulis lebih banyak sisi negatifnya dibanding sisi positifnya. Alangkah lebih baik jika program yang dilaksanakan adalah memberi beasiswa yang bertanggung jawab. Artinya beasiswa itu sebagai hutang yang harus dilunasi ketika mereka sudah bekerja, jadi ada pertanggungjawaban.

Daftar Pustaka

Jujun Suriasumantri.1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan

Hasrullah (Dosen FISIP – UNHAS). 2009. Rubrik Opini”menagih janji politik syahrul-agus”.Makassar. Harian Fajar.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/18/Didaktika/1689073.htm

http://www.forumpendidikan.com/viewtopic.php

Uyo Sadulloh, 2008. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung. CV. Alfabeta


0 komentar to "Melacak Akar Legalitas Privatisasi Pendidikan di Sulawesi Selatan Melalui Pendidikan Gratis dan Badan Hukum Pendidikan"

Posting Komentar

my photo

my photo

Cari Blog Ini

Selamat datang di CHUMMANK BLOG

Blog ini dapat menjadi solusi konkrit bagi anda semua, utamanya sebagai bahan referensi

PROPILKU

makassar, sulawesi selatan

Pengikut

Label

Blog Archive

Web hosting for webmasters