DINAMIKA DAN POTENSI KONFLIK PADA MASYARAKAT MAKASSAR SEBAGAI KOTA METROPOLITAN

Abstrak : Penelitian ini dilaksanakan di kota makassar Kota Makassar yang merupakan sebuah kota yang amat besar dan sekaligus ibu kota provinsi sulawesi Selatan yang patut menyandang predikat sebagai kota metropolitan di kawasan timur Indonesia. Hal ini terbukti dari abad ke-16, sejak itu Makassar merupakan pusat perdagangan yang dominan di Indonesia Timur, dan kemudian menjadi salah satu kota terbesar di Asia Tenggara. Makassar sebagai kota metropolitan yang sarat dengan berbagai masalah yang kompleks dapat menjadi tempat yang subur tumbuh dan berkembangnya berbagai kejahatan.Masalah kamtibmas di wilayah Makassar dan sekitarnya yang terjadi semakin kompleks dan semakin meningkat. Dan ada yang dapat dikategorikan sebagai masalah kontijensi, yaitu masalah-masalah kamtibmas yang kejadiannya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja serta dapat mengenai siapa saja. Selain itu penelitian ini bersifat deskriftif yang bertujuan untuk mengetahui Apa peranan yang diberikan oleh kaum boro terhadap kehidupan sosial di desa asalnya dan bagaimana kehidupan kaum boro dalam menjalani kehidupan di kota yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan sosial di desa asalnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wancara dan lembar observasi. Hasil yang diperoleh dari analisis deskriptif kualitatif.
Kata Kunci : Dinamika Konflik – Kota Metropolitan

Sebuah masyarakat merupakan sebuah struktur yang terdiri atas saling hubungan peranan-peranan dari para warganya, yang peranan-peran tersebut dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Saling hubungan diantara peranan-peranan ini mewujudkan struktur-struktur peranan-peranan yang biasanya terwujud sebagai pranata-pranata (lihat Suparlan 1986, 1996, 2004a). Dan setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dari kebudayaan yang dimliki oleh masyarakat lainnya.
Kebudayaan (mengacu dari konsep Profesor Parsudi Suparlan, 2004b : 58-61) dilihat sebagai : (1) pedoman bagi kehidupan masyarakat, yang secara bersama-sama berlaku, tetapi penggunaannya sebagai acuan adalah berbeda-beda menurut konteks lingkungan kegiatannya; (2) Perangkat-perangkat pengetahuan dan kenyakinan yang merupakan hasil interpretasi atau pedoman bagi kehidupan tersebut. Dan kehidupan masyarakat kota-kota di Indonesia terdapat tiga kebudayaan yaitu : kebudayaan nasional, kebudayaan sukubangsa, dan kebudayaan umum. Kebudayaan nasional yang operasional dalam kehidupan sehari-hari warga kota melalui berbagai pranata yang tercakup dalam sistem nasional.
Kebudayaan kedua, adalah kebudayaan-kebudayaan sukubangsa. Kebudayaan sukubangsa fungsional dan operasional dalam kehidupan sehari-hari di dalam suasana-suasana sukubangsa, terutama dalam hubungan-hubungan kekerabatan dan keluarga, dan dalam berbagai hubungan sosial dan pribadi yang suasananya adalah suasana sukubangsa.
Kebudayaan yang ketiga yang ada dalam kehidupan warga masyarakat kota adalah kebudayaan umum, yang berlaku di tempat-tempat umum atau pasar. Kebudayaan umum muncul di dalam dan melalui interaksi-interaksi sosial yang berlangsung dari waktu ke waktu secara spontan untuk kepentingan-kepentingan pribadi para pelakunya, kepentingan ekonomi, kepentingan politik, ataupun kepentingan-kepentingan sosial. Kebudayan umum ini menekankan pada prinsip tawar-menawar dari para pelakuya, baik tawar-menawar secara sosial maupun secara ekonomi, yang dibakukan sebagai konvensi-konvensi sosial, yang menjadi pedoman bagi para pelaku dalam bertindak di tempat-tempat umum dalam kehidupan kota.
Suatu masyarakat dapat bertahan dan berkembang bila ada produktifitas. Yaitu warganya dapat menghasilkan sesuatu produk atau setidak-tidaknya dapat menghidupi dirinya sendiri. Dan bagi yang tidak produktif akan menjadi benalu yang dapat menghambat bahkan mematikan produktifitas tersebut. Dalam proses produktivitas tersebut ada berbagai ancaman, gangguan yang dapat mengganggu jalannya usaha dan bahkan mematikan produktivitas. Untuk melindungi atau menjaga warga masyarakat dalam melaksanakan produktivitasnya diperlukan adanya aturan, hukum maupun norma-norma. Dan untuk menegakkannya serta mengajak warga masyarakat untuk mentaatinya diperlukan institusi/pranata yang menanganinya salah satunya adalah polisi.
Masalah-masalah perkotaan begitu kompleks antara lain : penggunaan kekuatan sosial untuk menduduki tanah-tanah dalam wilayah kota yang bukan miliknya atau fasilitas-fasilitas lainnya, dan muncul wilayah-wilayah pemukiman liar dan kumuh di daerah perkotaan yang berfungsi sebagai kantong-kantong kemiskinan dan pensosialisasian kriminalitas, pelacuran, kenakalan dan kejahatan remaja, alkoholisme, narkoba dan berbagai permasalahan sosial lainya. Secara keseluruhan masalah-masalah tersebut juga turut mendorong terwujudnya lingkungan hidup perkotaan yang tidak kondusif bahkan dapat meresahkan akan terus muncul, berkembang, dan menjadi laten dalam kehidupan masyarakat.


Refleksi Kehidupan Masyarakat Desa-Kota
Bukan upaya yang mudah untuk memberikan gambaran tentang desa dan kota secara utuh, disamping karena kompleksitas permasalahan yang ada di desa maupun di kota juga karena sifat dinamis desa dan kota sebagai akibat pembangunan. Gambaran yang diberikan sekarang tentang desa atau kota belum tentu relevan untuk kondisi dua tahun mendatang. Dengan demikian pembahasan tentang desa seringkali tidak dapat dilepaskan dari terjadinya perubahan sosial desa yang demikian cepat. Rogers dalam bukunya Social Change in Rural Societies: An Introduction to Rural Sociology, memandang perubahan sosial sebagai suatu proses yang melahirkan perubahan-perubahan di dalam struktur dan fungsi dari suatu sistem kemasyarakatan.Perkembangan yang cepat tersebut tentunya tidak lepas dari perkembangan teknologi pertanian dan juga perubahan struktur perekonomian dan politik. Perubahan sistem produksi telah membawa perubahan yang mendasar pada system pertanian yang pada gilirannya berdampak pada perubahan kehidupan masyarakat pedesaan sebagai petani atau menggantungkan hidupnya pada pertanian di pedesaan.
Secara sosiologis, Maschab menggambarkan desa sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan di mana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung pada alam. Lebih jauh lagi Maschab menyebukan bahwa desa diasosiasikan dengan satu masyarakat yang hidu sederhana, pada umumnya hidup dari lapangan pertanian, ikatan sosial, adat dan tradisis masih kuat, sifat jujur dan bersahaja, pendidikannya relatif masih rendah dan sebagainya. Dalam perkembangannya, sebagai akibat dari arus modernisasi sebagian desa telah mengalami perubahan secara drastis dan jauh dari kondisi-kondisi yang banyak digambarkan oleh para ahli. Modernisasi sebagai satu pendekatan pembangunan telah juga membawa perubahan sosio-kultur desa. Dalam konteks yang demikian, desa tidak lagi bisa didefinisikan sebagai tempat tempat tertentu yang masih jujur dan bersahaja, lugu dan masih menjalin ikatan-ikatan sosial secara informal. Meskipun demikian, dalam kenyataannya dampak modernisasi terhadap masyarakat desa memang tidak dapat digeneralisir. Secara nyata masih ada masyarakat desa yang masih hidup mematuhi tradisi dan adat istiadat turun temurun, dan banyak diantaranya dalam kondisi tidak maju atau terbelakang menurut ukuran modernitas. Desa di Badui dalam atau pada umumnya desa-desa di luar Jawa misalnya merupakan masyarakat yang masih menjunjung tinggi kepercayaan tradisional dan adat sehingga derasnya arus modernisasi tidak mampu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Sebagian desa lagi, terutama desa-desa di luar Jawa, secara geografis terletak sangat jauh dari dunia modern sehingga sulit untuk dijangkau dan akibatnya tidak mudah untuk dipengaruhi.
Pada masa lampau penduduk pedesaan pada umumnya hidup dengan sistem subsisten, tetapi paradigma modernisasi telah mengubah mode of production dari tidak berorientasi keuntungan ke berorientasi pada keuntungan. Dengan perkembangan-perkembangan yang ada di pedesaan dalam kenyataannya untuk kasus-kasus desa tertentu terutama di Jawa dari karakteristik dan fisik menjadi sulit membedakan antara desa dengan kota. Perbedaan-perbedaan desa-kota sangat tepat dinilai dengan indikator yang mengukur kesejahteraan secara langsung. Demikian juga kesehatan dan hidup mengandung nilai universal dengan demikian memberikan ukuran yang mengandung validitas lintas - kultural. Indikator kesejahteraan ini lebih dimaknai sebagai kesejahteraan secara ekonomi. Kota dipandang lebih sejahtera daripada desa yang tidak sejahtera dari ukuran ekonomi. Pemaknaan yang demikian ternyata berdampak terhadap cara pandang orang desa terhadap keadaan kota yang digambarkan sebagai menjanjikan ketersediaan sumber-sumber ekonomi untuk kesejahtreraan. Sementara itu desa dipandang sebagai tempat yang sulit sebagai tempat untuk meningkatkan kesejahteraan. Terlepas dari tingkat kebenaran cara pandang tersebut, cara pandang dari sisi kesejahteraan ini telah menjadi salah satu pendorong orang-orang desa berpindah (melakukan urban) ke kota dalam rangka untuk meningkatkan sumber penghasilan.
Fenomena boro menjadi upaya yang sering ditempuh oleh masyarakat desa yang merasa kesulitan meningkatkan kesejahteraan ekonominya untuk pergi ke kota. Boro menjadi upaya alternatif bagi masyarakat desa untuk mencari pekerjaan ke kota karena tertutupnya peluang mencari pekerjaan di desa yang dipandang tidak dapat menjanjikan. Meskipun boro mengandung resiko-resiko sosial, psikologi, ekonomi dan lain-lain, kesenjangan kesejahteraan desa-kota yang begitu drastis lebih menyingkirkan pertimbangan-pertimbangan atas dasar resiko-resiko tersebut. Apa peranan yang diberikan oleh kaum boro terhadap kehidupan sosial di desa asalnya dan bagaimana kehidupan kaum boro dalam menjalani kehidupan di kota yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan sosial di desa asalnya.

Konflik dan Potensi Konflik
Konflik dapat dilihat sebagai sebuah perjuangan antar individu atau kelompok untuk memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama ingin mereka capai. Kekalahan atau kehancuran pihak Iawan dilihat oleh yang bersangkutan sebagai sesuatu tujuan utama untuk memenangkan tujuan yang ingin dicapai. Berbeda dengan persaingan atau kompetisi, dimana tujuan utama adalah pencapaian kemenangan melalui keunggulan prestasi dan yang bersaing, maka dalam konflik tujuannya adalah penghancuran pihak lawan sehingga seringkaIi tujuan untuk memenangkan sesuatu yang ingin dicapai menjadi tidak sepenting keinginan untuk menghancurkan pihak lawan. Konflik sosial yang merupakan perluasan dari konflik individual, biasanya terwujud dalam bentuk konflik fisik atau perang antar dua kelompok atau Iebih, yang biasanya selalu terjadi dalam keadaan berulang.
Sesuatu konflik fisik atau perang biasanya berhenti untuk sementara karena harus istirahat supaya dapat melepaskan lelah atau bila jumlah korban pihak lawan sudah seimbang dengan jumlah korban pihak sendiri. Setelah istirahat konflik diteruskan atau diulang lagi pada waktu atau kesempatan yang lain setelah itu.
Para ahli sosiologi konflik, melihat gejala-gejala sosial, termasuk tindakan-tindakan sosial manusia, adalah sebagai hasil dan konflik. Menurut para ahli sosiologi konflik, kepentingan-kepentingan yang dipunyai orang perorang atau kelompok berada di atas norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha pencapaian kepentingan-kepentingan itu didorong oleh konflik-konflik antar individu dan kelompok sebagai aspek-aspek yang biasa ada dalam kehidupan sosial manusia. Sedangkan model lain yang bertentangan tetapi relevan dengan model konflik adalah model ketaraturan yang digunakan untuk melihat berbagai bentuk kompetisi dan konflik dalam olahraga dan politik sebagai sebuah bentuk keteraturan.
Dahrendorf, salah seorang tokoh yang mengembangkan model konflik, melihat bahwa kehidupan rnanusia dalam bermasyarakat didasari oleh konflik kekuatan, yang bukan semata-mata dikarenakan oleh sebab-sebab ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx, tetapi karena berbagai aspek yang ada dalam masyarakat; Yang dilihatnya sebagai organisasi sosial. Lebih lanjut dikatakannya bahwa organisasi menyajikan pendistribusian kekuatan sosial kepada warganya secara tidak merata. Oleh karena itu warga sebuah masyara.kat akan tergolong dalam mereka yang mempunyai dan yang miskin dalam kaitannya dengan kekuatan sosial atau kekuasaan. Karena organisasi itu juga membatasi berbagai tindakan manusia maka pembatasan-pembatasan tersebut juga hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan. Sedangkan mereka yang miskin kekuasaan, yang terkena oleh pembatasan-pembatasan secara organisasi oleh yang mempunyai kekuasaan, akan berada dalam konflik dengan mereka yang mempunyai kekuasaan. Oleh Dahrendorf konflik dilihat sebagai sesuatu yang endemik atau yang selalu ada dalam kehidupan manusia bermasyarakat.
Bila kita mengikuti model Dahrendorf diatas, maka secara hipotetis kita ketahui bahwa dalam setiap masyarakat terdapat potensi-ootensi konflik karena setiap warga masyarakat akan mempunyai kepentingan yang harus dipenuhi yang dalam pemenuhannya akan harus mengorbankan kepentingan warga masyarakat lainnya. Upaya pemenuhan kepentingan yang dilakukan oleh seseorang yang mengorbankan kepentingan seseorang lainnya dapat merupakan potensi konflik, bila dilakukan tanpa mengikuti aturan main (yang terwujud sebagai hukum, hukum adat, adat, atau konvensi sosial yang berlaku setempat) yang dianggap adil dan beradab. Sedangkan bila dalam masyarakat tersebut ada aturan-aturan main yang diakui bersama oleh warga masayarakat tersebut sebagai adil dan beradab, maka potensi-potensi konflik akan mentransformasikan diri dalam berbagai bentuk persaingan. Jadi, potensi-potensi konflik tumbuh dan berkembang pada waktu dalam hubungan antar individu muncul dan berkembang serta mantapnya perasaan-perasaan yang dipunyai oleh salah seorang pelaku akan adanya perlakuan sewenang-wenang dan tindakan-tindakan tidak adil serta biadab yang dideritanya yang diakibatkan oleh perbuatan pihak lawannya.
Adanya potensi konflik dalam diri seseorang atau sekelompok orang ditandai oleh adanya perasaan tertekan karena perbuatan pihak Iawan, yang dalam keadaan mana si pelaku tidak mampu untuk melawan atau menolaknya, dan bahkan tidak mampu untuk menghindarinya. Dalam keadaan tersebut si pelaku mengembangkan perasaan kebencian yang terpendam terhadap pihak Iawan, yang perasaan kebencian tersebut bersifat akumulatif oleh perbuatan-perbuatan lain yang merugikan dari pihak Iawannya. Kebencian yang mendaiam dari si pelaku yang selalu kalah biasanya terw’ujud dalam bentuk menghindar atau melarikan diri dari si pelaku. Tetapi kebencian tersebut secara umum biasanya terungkap dalam bentuk kemarahan atau amuk, yaitu pada waktu si pelaku yang selalu kalah tidak dapat menghindar lagi dari pilihan harus melawan atau mati, yang dapat dilihat dalam bentuk konflik fisik dan verbal diantara dua pelaku yang berlawanan tersebut.
Konflik fisik yang menyebabkan kekalahannya oleh lawan akan menghentikan tindakan perlawanannya. Tidak berarti bahwa berhentinya perlawanan tersebut menghentikan kebenciannya ataupun dorongannya untuk menghancurkan pihak lawannya. Kebencian yang mendalam masih disimpan dalam hatinya, yang akan merupakan landasan semangat untuk menghancurkan pihak lawan. Sewaktu-waktu bila pihak lawan lengah atau situasi yang dihadapi memungkinkan maka dia akan berusaha untuk menghancurkannya. Yaitu, agar merasa telah menang atau setidak-tidaknya telah seimbang dengan kekalahan yang telah dideritanya dari pihak lawan tersebut.
Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan biasanya dilihat oleh pelaku yang bersangkutan dalam kaitannya dengan konsep hak yang dimiliki (harta, jatidiri, kehormatan, keselamatan, dan nyawa) oleh diri pribadi, keluarga, kerabat, dan komuniti atau masyarakatnya. Sesuatu pelanggaran atau perampasan atas hak milik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang akan dapat diterima oleh seseorang atau sekelompok orang tersebut bila sesuai menurut norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku daiam masyarakat setempat, atau memang seharusnya demikian. Tetapi tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan bila perbuatan tersebut tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku. Dalam hubungan antar sukubangsa, konsep hipotesa kebudayaan dominan dari Bruner (lihat Suparlan 1999d : 13-20) menjadi relevan sebagai acuan untuk memahami keberadaan aturan-aturan main atau konvensi-konvensi sosial yang berlaku diantara dua sukubangsa atan lebih yang bersama-sama menempati sebuah wilayah dan membentuk kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat setempat.
Perlakuan sewenang-wenang oleh orang atau kelompok lain yang diderita oleh seseorang atau sebuah kelompok atau masyarakat, bila tidak mampu diatasi dalam bentuk perlawanan oleh yang diperlakukan sewenang-wenang akan membekas dalam bentuk kebencian, dan kebencian tersebut pada waktu terjadinya peristiwa tersebut akan disimpan atau terpendam dalam hati, karena tidak berani atau tidak mampu untuk melawannya, atau karena tertutup oleh berbagai kesibukan dalam suatu jangka waktu tertentu. Peristiwa kesewenang-wenangan yang terpendam seperti ini akan muncul dan terungkap dalam bentuk stereotip dan prasangka. Stereotip atau prasangka tersebut akan terwujud dalam bentuk simbol-simbol yang menjadi atribut dari keburukan atau kerendahan martabat pelaku yang sewenang-wenang tersebut.
Konflik sosial terjadi antara dua kelompok atau lebih, yang terwujud dalam bentuk konflik fisik antara mereka yang tergolong sebagai anggota-anggota dari kelompok¬kelompok yang berlawanan. Dalam konfik sosial, jatidiri dari orang perorang yang terlibat dalam konflik tersebut tidak lagi diakui keberadaannya. Jatidiri orang perorang tersebut diganti oleh jatidiri golongan atau kelompok. Dengan kata-kata lain, dala konflik sosial yang ada bukanlah konflik antara orang perorang dengan jatidiri masing¬masing tetapi antara orang perorang yang mewakili jatidiri golongan atau kelompoknya. Atribut-atribut yang menunjukkan ciri-ciri jatidiri orang perorang tersebut berasal dari stereotip yang berlaku dalam kehidupan antar golongan yang mewakili oleh kelompok¬-kelompok konflik. Dalam konflik sosial tidak ada tindakan memilah-milah atau menyeleksi siapa-siapa pihak lawan yang harus dihancurkan. Sasarannya adalah keseluruhan kelompok yang tergolong dalam golongan yang menjadi musuh atau lawannya, sehingga penghancuran atas diri dan harta milik orang perorang dari pihak Iawan mereka lihat sama dengan penghancuran kelompok pihak lawan.
Dalain konflik fisik yang terjadi, orang dan golongan sosial atau sukubangsa yang berbeda yang semula adalah teman baik, akan menghapus hubungan pertemanan yang baik tersebut menjadi hubungan permusuhan atau setidak-tidaknya menjadi hubungan penghindaran. Hubungan mereka menjadi hubungan golongan, yaitu masing-masing mewakili golongannya dalam hubungan konflik yang terjadi. Orang-orang luar, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelompok-kelompok yang sedang dalam konflik fisik tersebut bila mempunyai atribut-atribut yang memperlihatkan kesamaan dengan ciri-cirii dari pihak lawan akan digolongkan sebagai lawan dan tanpa permisi atau meminta penjelasan mengenai jatidiri golongannya akan juga dihancurkan.
Diantara berbagai konflik sosial yang yang terwujud sebagai konflik fisik, konflik antar suku bangsa adalah konflik yang tidak dapat dengan mudah didamaikan. Karena, konflik yang terjadi, yang disebabkan oleh rasa aketidakadilan atau kesewenang-wenangan ataupun kekalahan telah dipahami sebagai dihancurkannya harga diri dan kehorrnatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kota Makassar adalah merupakan sebuah kota yang amat besar dan sekaligus ibu kota provinsi sulawesi Selatan yang patut menyandang predikat sebagai kota metropolitan di kawasan timur Indonesia. Hal ini terbukti dari abad ke-16, sejak itu Makassar merupakan pusat perdagangan yang dominan di Indonesia Timur, dan kemudian menjadi salah satu kota terbesar di Asia Tenggara. Raja-raja Makassar menerapkan kebijakan perdagangan bebas yang ketat, di mana seluruh pengunjung ke Makassar berhak melakukan perniagaan di sana, dan menolak upaya VOC (Belanda) untuk memperoleh hak monopoli di kota tersebut.Kota Makassar juga merupakan salah satu kota di Indonesia yang banyak dibangun pusat perbelanjaan. Begitu juga dengan dibangunnya hypermarket seperti Carrefour, Matahari, Goro dan Makro yang belakangan ini menjadi tren belanja kalangan menengah di Makassar. Posisi Kota Makassar sebagai pusat perekonomian telah mendorong orang-orang di luar Makassar bahkan Sulawesi Selatan untuk berbondong-bondong mencari rezeki di ibu kota Sulawesi Selatan ini. Banyak dari orang-orang yang datang ke Makasar tidak dibekali dengan keahlian atau ketrampilan khusus, sehingga beberapa dampak sosial yang sering muncul adalah masalah pengangguran yang berkaitan erat dengan masalah kemiskinan dan kriminalitas. Makassar sebagai salah satu kota besar di kawasan timur Indonesia adalah pusat politik, ekonomi, sosial budaya. Makassar sebagai kota metropolitan yang sarat dengan berbagai masalah yang kompleks dapat menjadi tempat yang subur tumbuh dan berkembangnya berbagai kejahatan.Masalah kamtibmas di wilayah Makassar dan sekitarnya yang terjadi semakin kompleks dan semakin meningkat. Dan ada yang dapat dikategorikan sebagai masalah kontijensi, yaitu masalah-masalah kamtibmas yang kejadiannya dapat terjadi kapan saja dan di mana saja serta dapat mengenai siapa saja. Di samping itu juga berdampak luas dan juga dapat menimbulkan keresahan dan ketakutan bagi warga masyarakat serta kerusakan sosial yang besar. Penyebab masalah kontijensi tersebut dapat dikategorikan antara lain yang disebabkan ulah manusia, disebabkan alam maupun karena kerusakan infrastruktur. Dampak dari masalah kontijensi tersebut adalah menghambat bahkan dapat mematikan produktifitas warga masyarakat. Dan tentunya juga dapat berdampak luas atau menyebar ke daerah-daerah lainya. Terhambatnya produktifitas warga masyarakat Makassar dan sekitarnya dapat mengganggu stabilitas negara.Salah satu penyebab timbulnya permasalahan yang begitu kompleks tersebut antara lain adanya konflik. Sejalan dengan hal tersebut apa yang harus dilakukan untuk menangani masalah-masalah yang sifatnya rutin (daily case) maupun untuk menangani berbagai masalah yang sifatnya kontijensi.
Berbagai potensi konflik yang timbul dan dihadapi di Makassar antara lain menyangkut :
a) Masalah Lalu lintas, baik kemacetan, rawan kecelakaan maupun pelanggaran yang kesemuanya diperlukan keterpaduan, baik petugas maupun para pemakai jalan serta keseimbangan sarana dan perasarana.
b) Masalah pembebasan tanah masih sering menimbulkan protes dan tidak puasnya masyarakat terhadap ganti rugi dan timbulnya kasus penipuan/penggelapan surat-surat tanah yang dapat menimbulkan gangguan kamtibmas.
c) Faktor korelatif kriminogen kejadian-kejadian yang dapat menjurus pada masalah SARA.
d) Masalah pengangguran merupakan masalah nasional yang menonjol, hal ini disebabkan karena krisis moneter yang berkepanjangan sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja, sedangkan anak-anak putus sekolah tiap tahun meningkat jumlahnya.
e) Pengembangan daerah industri dan pemukiman, hal ini mengandung berbagai dampak di dalam masyarakat, antara lain :
(1) Masalah pemilikan tanah
(a) Pemalsuan sertifikat.
(b) Penipuan dan penggelapan sertifikat.
(c) Masalah ganti rugi.
(d) Sengketa hak kepemilikan tanah.
(2) Masalah transportasi baik berupa sarana maupun prasarana yang belum seimbang dengan perkembangan penduduk.
(3) Meningkatnya kasus kriminalitas akibat berkembangnya daerah pemukiman khususnya di wilayah Makassar.
(4) Perkembangan daerah industri, hal ini mempunyai dampak terhadap :
(a) Masalah tenaga kerja
(b) Masalah lingkungan (pencemaran udara dan air sekitarnya)
(5) Pengembangan daerah pariwisata mempunyai dampak terhadap :
(a) Berkembangnya nilai budaya yang bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia.
(b) Timbulnya penyalahgunaan peruntukan sarana dan prasarana bidang wisata (hotel, penginapan/losmen dan sejenisnya) yang memerlukan pengawasan.
f) Sarana pelayanan umum antara lain :
(1) Tempat-tempat hiburan merupakan tempat dan lokasi FKK maupun PH yang sewaktu-waktu dapat timbul menjadi AF.
(2) Sarana-sarana ibadah, disamping tempat melaksanakan ibadah sesuai dengan agama masing-masing, dapat pula digunakan kelompok tertentu untuk kegiatan yang bersifat politis praktis (ekstrim).
(3) Peningkatan sarana pendidikan akan menambah pula kerawanan terhadap gangguan Kamtibmas baik dalam bentuk :
(a) Kenakalan remaja (Trektrekan Mobil/Motor dan penyalah-gunaan Narkotika).
(b) Perkelahian pelajar.
(c) Aksi corat-coret dan unjuk rasa.
(d) Tindakan lainnya.
(e) Pedagang asongan dan kaki lima merupakan dampak negatif dengan meningkatnya urbanisasi serta sulitnya mencari lapangan kerja sehingga menjadi titik rawan yang dapat menimbulkan gangguan Keamanan.

PENUTUP
Penyelesaian konflik dalam mewujudkan keamanan dan rasa aman merupakan tanggung jawab kita bersama yang secara hakiki mencakup :
• Berdasarkan pada Supremasi Hukum.
• Memberikan jaminan dan perlindungan HAM (hak asasi manusia).
• Adanya transparansi.
• Adanya pertanggung jawaban publik (acountabilitas public).
• Pembatasan dan Pengawasan kewenangan kepolisian.
• Berorientasi pada masyarakat.
Dan bagi polisi dalam mengemberikan pelayanan keamanan dan rasa aman warga masyarakat Community policing merupakan salah satu model yang dapat diacu sebagai model pemolisian yang proaktif dan problem solving dalam masyarakat yang demokratis. Yaitu (1) Polisi dan masyarakat bekerja sama untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang terjadi di dalam masyarakat (2) Polisi berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakat akan ganngguan kriminalitas atau dengan kata lain berupaya memberikan jaminan keamanan, (3) lebih menekankan tindakan pencegahan kriminalitas (crime prevention), (4) berorientasi pada masyarakat dan (5) Senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.
Sebagai kesimpulan dapat kita pikirkan bersama bahwa penyelesaian konflik tidak lagi dengan cara – cara kekerasan tetapi dengan dialog atau komunikasi dan mencari solusi yang terbaik sebagai wujud masyarakat madani( civil society) .yang juga merupakan cita-cita demokrasi dalam membangun manusia Indonesia menuju tata kehidupan sodsial yang adil dan beradab.

DAFTAR PUSTAKA.
A. Surjadi, 1995, Pembangunan Masyarakat Desa, Mandar Maju, Bandung,

Bahreit T. Sugihen, 1997, Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar), RajaGrafindo Persada, Makassar,

Dwi Wuryaningsih, 2001, Kiprah Kaum Boro Dalam Kehidupan Masyarakat Desa: Studi Tentang Kaum Boro Di Desa Kedungringin, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semrang, Makalah disajikan pada Seminar Dinamika Politik Lokal P3PL-Petrcik, di Bandungan, tanggal 26 Juni 2001.

Suhartono, 2001, Politik Lokal Parlemen Desa: Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonomi Daerah, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.


0 komentar to "DINAMIKA DAN POTENSI KONFLIK PADA MASYARAKAT MAKASSAR SEBAGAI KOTA METROPOLITAN"

Posting Komentar

my photo

my photo

Cari Blog Ini

Selamat datang di CHUMMANK BLOG

Blog ini dapat menjadi solusi konkrit bagi anda semua, utamanya sebagai bahan referensi

PROPILKU

makassar, sulawesi selatan

Pengikut

Label

Blog Archive

Web hosting for webmasters